Fakta hari ini, Islam telah menjadi perhatian di seluruh dunia. Dari
kalangan pembuat kebijakan di pusat-pusat yang tersebar dari Barat
sampai Timur sampai di pelosok-pelosok, Islam disebut-sebut tanpa henti.
Semenjak Perang Dingin telah berakhir, dunia seolah-olah telah
kehilangan salah satu bandul neracanya. Pertarungan Kapitalisme versus Komunisme telah berakhir, maka seolah-olah dunia telah selesai ceritanya. The End of History. Konon, dunia telah menjadi unipolar. Narasi baru pun dimulai.
Secara mendadak muncullah narasi baru dunia, bahwa masa depan dunia
akan ditentukan oleh peradaban-peradaban yang akan saling berbenturan
atau justru dibenturkan. Itulah yang disebut dengan clash of civilizations. Islam
adalah salah satu yang akan dibenturkan dengan peradaban lain. Tidak
lama setelah itu, secara serentak di seluruh dunia muncul apa yang
kemudian disebut-sebut sebagai radikalisme Islam sebagai sebuah bukti
bahwa Islam telah bersiap untuk perbenturan peradaban. Islam yang pada
masa Perang Dingin telah bahu-membahu bersama Kapitalisme untuk
meruntuhkan Komunisme, kini telah ditinggalkan. Harganya adalah
Balkanisasi, pembersihan kaum Muslimin di Bosnia Herzegovina tepat di
depan "hidung" NATO yang selama dekade terakhir saat itu telah dibantu
untuk mengusir Uni Soviet dari pintu gerbang ke sumber minyak terbesar
di dunia, Timur Tengah.
Di Indonesia, Islam pun dibentur-benturkan dengan saudara-saudara
sebangsa dalam konflik Ambon dan Poso, hanya untuk menunjukkan bahwa
konflik Islam-Kristen memang tidak terhindarkan
Apa artinya semua ini bagi kaum Pergerakan Islam Indonesia? Setidak-tidaknya ada dua hal yang dapat dilihat:
Pertama, Islam memang sangat diperhitungkan karena memiliki
pemeluk yang sangat besar dan negara-negara Muslim tertentu, termasuk
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang luar biasa.
Kedua, dalam peristiwa-peristiwa besar dunia ke depan,
jargon Islam akan tetap digunakan secara ekstensif. Islam akan semakin
dikaji tetapi bukan untuk Islam itu sendiri. Islam akan digerakkan untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu.
Munculnya, gerakan-gerakan Islam akhir-akhir ini yang dengan gegap
gempita menyerukan jihad melawan kaum non-muslim di daerah-daerah
konflik, menyerukan penegakan khilafah Islamiyyah, negara Islam
dengan merujuk kepada Islam Arabis adalah sebuah tantangan besar bagi
PMII, yang sejak awal telah menegaskan identitas ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan secara bersamaan. Tantangan ini kurang lebih serupa
dengan tantangan yang muncul pada awal Abad XX yang kemudian menjadi
semangat bagi terbentuknya Komite Hijaz yang menjadi cikal bakal Jam�iyyah Nahdlatul Ulama.
Oleh karena itu, sebuah keniscayaan bagi PMII untuk meneguhkan
kembali identitas ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, sebagai warisan sejarah
yang tidak ternilai harganya karena berakar kuat dalam tradisi
masyarakat Islam Indonesia. Di sini, Islam adalah tradisi yang hidup (the living tradition) bukan semata-mata doktrin keagamaan.
Tradisi Islam Indonesia adalah perdamaian dengan doktrin Ahlussunnah
Wal Jama�ah (Aswaja) dengan mengedepankan prinsip-prinsip toleransi (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta�adul), sehingga
selama berabad-abad mampu bertahan dalam menghadapi setiap tantangan
karena kelenturannya. Bagi PMII, Aswaja adalah ideologi terbuka karena
kelenturannya. Dengan keterbukaan ini, maka selalu ada peluang untuk
memperkaya doktrin dengan pengalaman doktrin-doktrin yang lain. Dalam
kaidah dikenal al-muhafadhoh alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah. Memelihara apa yang baik dan mengambil apa yang lebih baik.
Dalam konteks isu global tentang Islam, negeri-negeri Islam dan dunia
Islam secara keseluruhan, PMII berpandangan bahwa setiap negeri
mempunyai tradisi masing-masing yang diwarisi dari setiap generasi
pendahulu. Karena itu, kehendak untuk menyatukan dunia Islam dalam satu
wadah politik dan keagamaan di bawah payung khilafah adalah sesuatu yang
tidak mendasarkan diri pada realitas Islam hari ini.
PMII prihatin dengan kondisi Irak yang makin memanas, dan terancam
oleh perang saudara antara kelompok Sunni-Syi�i hanya untuk memberikan
bukti lapangan bahwa intervensi masih diperlukan. Terlalu murah harga
kaum muslimin di hadapan para penentu kebijakan di seberang sana. Karena
itu, PMII mendorong dilakukannya dialog Sunni-Syi�i di seluruh penjuru
dunia agar dapat meminimalisir konsekuensi-konsekuensi yang tidak
dikehendaki (unintended consequences). Dialog itu tentunya akan dapat dilakukan jika dimulai dengan hati yang sama-sama terbuka.
PMII juga mengkhawatirkan kondisi Iran yang berada di ujung tanduk
permainan tripolar. Semoga masalah Iran dapat diselesaikan dengan
cara-cara diplomasi.
Masalah-masalah Islam di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya
non-muslim hendaknya juga diselesaikan dengan cara-cara tradisi
setempat. Kaum Muslimin di sana harus mampu berintegrasi ke dalam
masyarakat secara keseluruhan dengan tetap mempertahankan akidah. Kepada
pemerintahan setempat, PMII menyampaikan bahwa Islam adalah perdamaian.
Jika tidak mengusung perdamaian berarti Islamnya patut dipertanyakan.
Tapi, ingatlah bahwa perdamaian tidak berarti Islam siap ditindas.
PMII berseru kepada seluruh umat Islam di dunia: "Jadilah Diri Sendiri".