Asrul Sani Budayawan Aristokrat yang Merakyat

Sejak dalam usia muda (13 tahun) Asrul telah hijrah dari sekolah HIS di pasaman Sumatera Barat, ke sekolah SMP Budi Utomo dan Taman Siswa Jakarta, saat tu pula mulai malang melintang dalam dunia pemikiran kebudayaan dan pemikirannya sangat di segani karena memang berharga. Setelah tamat SMA, ia melanjutkan ke jurusan Kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor, mengajukan di sertai dengan judul Peran Kebudayaan dalam Pengembangan Tehnologi Peternakan, tetapi kemudian seorang pembimbingnya meninggal, sementara yang satu lagi pulang ke negaranya, Jerman. Maka putuslah usaha yang sebenarnya kurang di minati itu, sebab tampaknya ia lebih berminat menekuni bidang kesusastraan dan kebudayaan, dengan membaca berbagai karya di bidang tersebut di Museum Nasional, perpustakaan pribadi beberapa tokoh dan sebagainya.
Di sekolah Taman Siswa itulah Asrul duduk sekelas dengan Pramoedya, Pram mengakui kecerdasan anak ini, sebagaimana di lukiskan dalam buku "Nyanyi Sunyi Serang Bisu" . Ketika Asrul Sani berbicara tentang Heinrich Heine, aku harus membuka kuping dan mulut ternganga-nganga, begitu pula ketika berbicara tentang bahasa dan stilistika sangat fasih dan berlagak aristokrat. Dia membaca dan memiliki pengetahuan yang aku tidak punya.

Pada tahun 1950 yang kala itu masih berusia 25 tahun membikin kelompok Gelanggang Seniman Merdeka, yang antara lain beranggotakan, Rivai Apin, Usmar Ismail, Mochtar Lubis, Pramoedya� dan sebagainya, kelompok tadi kemudian mengeluarkan Surat Kepercayaan Gelanggang yang sebenarnya adalah konsep pemikiran Asrul, ini merupakan tonggak penting bagi sejarah pembentukan kebudayaan nasional. Karya puisinya yang terkenal Tiga Menguak Takdir yang di tulis bersama Chairil Anwardan Rivai Apin. Sejak duduk di SMP Asrul telah menunjukkan kehandalannya, dan mempunyai bacaan yang luas dan penguasaan mendalam terhadap pengetahuan yang di peroleh. Menurut Pramoedya Ananta Toer, teman sekelasnya hal itu bisa di maklumi ia anak orang yang berada dan berkedudukan tinggi, mendapat pendidikan baik pula, sementara pendidikan dirinya kacau, orang tua miskin dan harus menanggung kehidupan keluarga pula. Sering Asrul menggertak Pram ketika bertukar pendapat, sebab menurut Asrul, Pram tidak banyak membaca. Sikap Asrul itu menurut Pram arogan dan elitis karena itu ia menjulukinya sebagai seniman aristokrat.
Asrul lahir di Sumatera Barat 10 juni 1927, setahun setelah NU lahir, ia berasal dari keluarga ningrat ayahnya seorang raja adat. Pendidikan agama di lingkungan keluarganya sangat ketat. Sang ayah ingin Asrul melanjutkan pendidikan di pesantren agar bisa menjadi seorang ulama'. Sementara ibunya menghendaki Asrul masuk ke sekolah umum Belanda. Sesuai dengan trend pendidikan anak muda saat itu Asrul cenderung mengikuti saran ibunya, maka ia masuk MULO, sejak kecil memang ia mempunyai kebiasaan membaca yang tinggi, dan bacaan itulah rupanya yang nanti lebih menentukan jalan hidupnya, ketimbang sekolah formal yang di tempuhnya, sebab setelah melanjutkan sekolah di jurusan kedokteran hewan ia tidak menekuni bidang keahliannya itu, melainkan menjadi seorang penyair, seniman dan budayawan yang terkenal. Minatnya di bidang sastra dan kebudayaan semakin tumbuh bergaul dengan Chairil Anwar dan Sutan Sjahrir.
Asrul bersahabat erat dengan Chairil Anwar dan menjadikannya sebagai teman bergelandang di Tanah abang dan Senin, mencari ilham dan buku-buku bekas Belanda di pasar loak. Dan ini semakin menjadikannya produktif berkarya, baik karya orisinal maupun terjemahan. Sebagaimana Chairil dan seniman yang lain Asrul saat itu sangat individualis, yakni hanya berkarya tanpa memerlukan organisasi kesenian karena hal itu hanya akan menghambat kreativitas, karena akan sibuk mengurus persoalan yang ruwet di luar kesenian, dan hal itu sering di jadikan dalih para seniman untuk tidak berkarya.
Tetapi perkembangan politik dan kebudayaan pada akhir 1950-1960-an membuat Asrul berubah sikap, dengan alasan bahwa bangsa Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar, terutama dalam bentuk ilmu pengetahuan dan ideologi, kekuasaan senjata rohaniah ini lebih dahsyat ketimbang mesiu apalagi pedang. Untuk menghadapi tantangan tersebut para buidayawan harus bersatu dalam sebuah organisasi agar bisa bekerjasama untuk berfikir dan bertindak yang membutuhkan biaya besar untuk membangun kebudayaan alternatif yang bisa mengangkat harkat agama dan bangsa. Pertama-tama gagasan tersebut di tawarkan pada Partai Sosialis Indonesia (PSI), tetapi partai kaum intelejensia ini menolaknya, kemudian Asrul menawarkan pada NU, dan gagasan tersebut di terima, kebetulan saat itu NU sedang merencanakan berdirinya suatu lembaga kesenian untuk menampung aspirasi warganya yang mempunyai bakat di bidang tersebut. Maka di dirikanlah Lesbumi sebagai lembaga kesenian dan kebudayaan orang Islam. Memang saat itu banyak seniman yang tidak memiliki naluri politik, sehingga bersikap naif yaitu menjauhi politik, sebab khawatir terganggu oleh politik, kenaifan tersebut di manfaatkan oleh PKI, dan lebih naif lagi ketika beberapa penandatangana