DI JEMURAN PAKAIAN

Sore itu pengajian Kitab Al Jurumiyah berlangsung khidmat. Semua santri mengikutinya dengan khusyuk, tak terkecuali Zaid. Sebagai santri yang belum lama mondok, dia termasuk santri yang punya semangat tinggi untuk belajar ilmu-ilmu yang dikaji di pondok, termasuk ilmu nahwu.

Penjelasan romo Kyai ‘Abdullah sore itu tentang Al Asma’ul Khomsah sangat merasuk dalam hatinya.
Ketika sudah selesai mengaji, Zaid melakukan kebiasaan santri, yaitu nderes. Masih teringat dalam benaknya penjelasan Romo Kyai ‘Abdullah tentang Al Asma’ul Khomsah. Zaid belajar dengan serius. Dia mencoba membuat contoh dari teori-teori nahwu yang sudah di pelajari.
Zaid hanya sendiri di belakang asrama pondok, tepatnya di pemean (tempat jemuran baju), hingga kang Bakrun datang membawa se-ember cucian yang siap di jereng (dikeringkan).
Zaid: “Nyuci kang?”.
Kang Bakrun: “na’am… neh, mau nashara apa?”
Zaid: “Laa, basa-basi faqot. Aku mau sa’ala nih, Kang.”
Kang Bakrun: “Sa’ala apa?”
Zaid: “Begini, kang, tentang al-asma’ul khomsah kalau pas rofa’ pakai wawu jadi abuuka, nashob pake alif jadi abaka terus khofad pake ya’ jadi abika.”
Kang Bakrun: “Iya shodaqta, terus kenapa?”
Zaid: “Ana baru bikin contoh al asma’ul khomsah, dengerin ya! Begini; Ja’a sapu yang rofa’, roaitu sapa, ini yang nashob terus yang khofad, marortu bi sapi. Bener gak???”
Kang Bakrun: “????.”