Pesan dan Wasiat Habib Munzir Al Musawa

- - - Maka Rasulullah saw terus mengajakku masuk, "Masuklah... kau sudah kelelahan… kau tak punya rumah di dunia (memang saya hingga saat ini masih belum punya rumah). Tak ada rumah untukmu di dunia, karena rumahmu adalah di sini bersamaku… serumah denganku… seatap denganku…. makan dan mium bersamaku.... masuklah!"
Lalu aku berkata, "Lalu bagaimana dengan Fatah Jakarta? (Fatah tegaknya panji kedamaian Rasulullah saw).”
Maka beberapa orang menjawab di belakangku, “Wafatmu akan membangkitkan ribuan hati untuk meneruskan cita-citamu...! Masuklah…!" - - -


Ditulis oleh: Habib Munzir Al Musawa
Sabtu, 2 Januari 2010
Forwardkan pada kekasih-kekasihku di milis….
Malam ini aku tersandar di pembaringan dan terpaku bertafakkur. Air mata terus mengalir, alangkah lemahnya hamba ini menghadapi gelombang ombak.
Di hadapanku acara esok malam di Monas. Sedangkan acara malam Minggu membuat dadaku pecah. Ketika sakit di kepala belakangku kambuh dan sakitnya terasa seluruh urat panas membara sampai ke kuku dan tulang dan puncak sakitnya adalah di kepala bagian belakang.

Malam Minggu biasanya kutemui 15-20 ribu muslimin, namun tubuh yang sudah rapuh ini terus merangkak menuju majelis yang kukira akan menemui jamaah yang lebih banyak.
Ternyata yang kutemui hanya sekitar 300 orang saja. Serasa meledak dadaku karena sedih dan menahan sakit. Ingin rasanya ku jatuhkan tubuhku di pangggung dan terserah apa yang akan terjadi.
Dengan tubuh yang terus menahan sakit aku bertahan, mataku nanar dan panas, wajah dan telinga serasa menjadi tebal bagai ditampar berkali-kali. Keluhan sakit adalah sebab peradangan otak yang terus menjadi-jadi.
Aku terus menoleh ke kiri dan kanan, berharap para kekasihku datang berbondong-bondong meramaikan acara. Namun hanya beberapa puluh saja duduk di shaf dan sisanya belasan orang berdiri di sekitar panggung. Gelombang jamaah tidak tiba juga, tak lama tiba konvoi pun mungkin hanya 50 orang saja.
Aku terhenyak, kepalaku semakin sakit, seluruh tubuhku seakan berteriak kesakitan tak kuasa menahan sakitnya… Allah... Allah... Allah… Wahai tubuh penuh dosa kau harus bertahan.
Ceramah selesai, acara ditutup, aku melangkah ke mobil dengan lemah dan ingin ku teriakkan pada semua orang jangan satupun menyentuh kulitku karena sangat terasa sakitnya. Namun aku harus menerima nasibku untuk dikerubuti, mereka datang dan setia padaku. Mereka orang orang berjiwa Muhammad saw, aku tak boleh kecewakan mereka.
Aku membatin memandangi jumlah yang sangat sedikit di hadapan panggung besar dan lapangan bola ini, “Dua belas tahun aku berdakwah, inilah hasil dakwahku, sisanya adalah buih di lautan.”
Sampai di markas ku rebahkan tubuh penuh derita dengan hati yang hancur. Ketika mata hampir terlelap, maka aku terhentak bagai dibentak syaitan, esok malam acara Monas, bagaimana nasibmu Munzir! Adakah akan seperti ini ini? Hujan akan turun dan kau terpaku kecewa di hadapan Guru Mulia?
Aku bagai tersengat stroom tegangan tinggi, menangis sekeras-kerasnya. Sakit di kepalaku sudah tak tertahan. Jika ku hantamkan kepala ini ke tembok hingga kepala ini hancur tidak akan terasa sakitnya karena sudah dikalahkan oleh sakit yang jauh lebih berat.
Tubuhku gemetar, lalu aku berkata, “Ainiy! Bantu aku membuka jubah dan sorbanku dan gamisku, bantu aku rebah. Ini sudah larut malam, makanan apa yang ada Ainiy? Saya lapar, dan perlu makan sedikit untuk makan obat.”
Ia berkata, “Jam segini wahai Habib sudah tidak ada apa-apa. Banyak restoran padang dan penjual makanan masih tutup pula karena liburan panjang.”
“Baiklah, buatkan indomie saja, sekedar pengganjal untuk makan obat.”
Profesor sudah mengatakan, “Jika sakit di kepala tak mau hilang dengan obat penahan sakit yang saya berikan, Habib harus segera ke RSCM untuk suntik otak.”
Berkali-kali memang ia menembuskan jarum sepanjang hampir 15 cm itu ke dalam otakku sedalam-dalamnya… ah… tidak ada waktu untuk opname… aku harus bertahan… Di hadapanku acara Monas, pasrah pada Allah.
Lalu saat mata hampir terpejam, pikiranku dihentakkan lagi dengan beban berikutnya, 12 Rabiul Awal pada 26 Februari…. bulan depan…! Lalu kedatangan Guru Mulia pada sekitar Maret, mestilah ada acara akbar pula. Lalu 27 Rajab Isra Mikraj. Lalu Nisfu Sya'ban. Lalu Badr pada pertengahan Ramadhan. Lalu habisnya massa kontrak markas MR di bulan Juni.
Aku teringat mimpiku beberapa minggu yang lalu. Aku berdiri dengan pakaian lusuh bagai kuli yang bekerja sepanjang hari, di hadapanku Rasulullah saw berdiri di pintu kemah besar dan megah, seraya bersabda, "Semua orang tak tega melihat kau kelelahan wahai Munzir, aku lebih tak tega lagi… kembalilah padaku, masuklah kedalam kemahku dan istirahatlah….”
Kujenguk dalam kemah mewah itu ada Guru Mulia (Habib Umar bin Hafidz) seraya berkata, "Kalau aku bisa keluar dan masuk ke sini kapan saja, tapi Engkau wahai Munzir jika masuk kemah ini kau tak akan kembali ke dunia."
Maka Rasulullah saw terus mengajakku masuk, "Masuklah... kau sudah kelelahan… kau tak punya rumah di dunia (memang saya hingga saat ini masih belum punya rumah). Tak ada rumah untukmu di dunia, karena rumahmu adalah di sini bersamaku… serumah denganku… seatap denganku…. makan dan mium bersamaku.... masuklah!"
Lalu aku berkata, "Lalu bagaimana dengan Fatah Jakarta? (Fatah tegaknya panji kedamaian Rasulullah saw).”
Maka beberapa orang menjawab di belakangku, “Wafatmu akan membangkitkan ribuan hati untuk meneruskan cita-citamu...! Masuklah…!"
Lalu malaikat Izrail as. menggenggamku dari belakang, ia memegang dua pundakku, terasa seluruh uratku sudah digenggamannya, seraya berkata, "Mari… ku antar kau masuk... mari…"
Maka kutepis tangannnya dan aku berkata, “Saya masih mau membantu Guru Mulia saya.”
Maka Rasulullah saw memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku.
Aku terbangun….
Semalam ketika aku rebah dalam kegelapan kulihat dua tamu bertubuh cahaya, namun wajahnya tidak bertentuk kecuali hanya cahaya. Ia memperkenalkan bahwa ia adalah Izrail as. Kukatakan padanya, "Belum… belum... aku masih ingin bakti pada Guru Muliaku… pergilah dulu!” Maka ia pun menghilang raib begitu saja.
Tahun 1993 aku bermimpi berlutut di kaki Rasulullah saw, menangis rindu tak kuat untuk ingin jumpa. Maka Sang Nabi saw menepuk pundakku, “Tenang dan sabarlah... sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah kumpul bersamaku."
Usia saya kini 37 tahuh pada 23 Februari 1973, dan usia saya 38 tahun pada 19 Muharram ini.
Peradangan otak ini adalah penyakit terakhirku. Aku senang wafat dengan penyakit ini, karena Rasulullah saw beberapa bulan sebelum wafatnya terus mengeluhkan sakit kepala.
Salam rinduku untuk kalian semua jamaah Majelis Rasulullah saw kelak, jika terjadi sesuatu padaku maka teruskan perjuanganku… ampuni kesalahanku… kita akan jumpa kelak dengan perjumpaan yang abadi. Amiin
Kalau usiaku ditakdirkan lebih, maka kita terus berjuang semampunya, tapi mohon jangan siksa hari-hariku. Hanya itu yang kuminta.