Wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah).
Ciri utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan
terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT yang
diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui
wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat
secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).
Namun, nampaknya mayoritas umat Islam Indonesia mempersepsikan bahwa wakaf keagamaan lebih penting daripada wakaf untuk tujuan pemberdayaan sosial. Sehingga mereka lebih banyak mempraktikkan wakaf keagamaan, seperti masjid, musalla, makam dan sebagainya. Sementara untuk tujuan pemberdayaan, seperti wakaf pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat belum dipandang penting. Selain itu, para wakif biasanya hanya menyumbangkan tanah atau bangunan sekolah kepada nazhir, namun menutup mata terhadap biaya operasionalnya dan pengembangan ekonominya. Akibatnya, banyak yayasan pendidikan Islam, yang berbasis wakaf, gulung tikar atau telantar.
Jumlah penduduk umat Islam terbesar di seluruh dunia dan Jumlah aset wakaf tanah di Indonesia sangat besar. Wakaf tanah di Indonesia sebanyak 358.710 lokasi, dengan luas tanah 1,538,198,586 M2. Akan tetapi potensi ini belum dapat memberi peran maksimal dalam mensejahterakan rakyat dan memberdayakan ekonomi masyarakat. Penelitian wakaf oleh PBB UIN Syahid Jakarta terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi menunjukkan bahwa wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) daripada organisasi (16%) dan badan hukum (18%).
Selain itu, harta wakaf juga lebih banyak yang tidak menghasilkan (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Selain itu, diketahui bahwa jumlah nazhir yang bekerja secara penuh itu minim (16 %). Umumnya mereka bekerja sambilan dan tidak diberi upah (92%) .
Potensi Wakaf Uang
Wakaf uang, dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu; ia merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Oleh sebab itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak.
Uang, sebagai nilai harga sebuah komoditas, tidak lagi dipandang semata mata sebagai alat tukar, melainkan juga komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan misalnya, memberlakukan sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan ke masyarakat. Model ini memberikan keuntungan bahwa wakif dapat secara fleksibel mengalokasikan (tasharufkan) hartanya dalam bentuk wakaf. Demikian ini karena wakif tidak memerlukan jumlah uang yang besar untuk selanjutnya dibelikan barang produktif. Juga, wakaf seperti ini dapat diberikan dalam satuan satuan yang lebih kecil
Wakaf uang juga memudahkan mobilisasi uang di masyarakat melalui sertifikat tersebut karena beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf (waqif) bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf biasa. Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan lebih mudah memberikan kontribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi wakif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf tunai. Disebutkan, 96 persen kedermawanan diperuntukkan untuk perorangan, 84 persen untuk lembaga keagamaan dan 77 persen untuk lembaga nonkeagamaan. (PIRAC, 2002).
Wakaf uang sudah sejak lama diselenggarakan, yakni di masa Dinasti Mu’awiyyah. Wakaf tunai sebenarnya sudah menjadi pembahasan ulama terdahulu; salah satunya Imam az-Zuhri (wafat tahu 124 H) yang membolehkan wakaf uang (saat itu dinar dan dirham). Bahkan sebenarnya pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i juga membolehkan wakaf uang. Mazhab Hanafi juga membolehkan dana wakaf tunai untuk investasi mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Keuntungan dari bagi hasil digunakan untuk kepentingan umum.
Pada tgl 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 28 – 31 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf) pasal 22 – 27 secara eksplisit menyebut tentang bolehnya pelaksanaan wakaf uang.
Jumlah umat Islam yang terbesar di seluruh dunia merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan (Rp 1,2 trilyun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Strategi Penghimpunan dan Pengembangan Wakaf Uang
Ada beberapa strategi penting untuk optimalisasi wakaf dan wakaf tunai dalam rangka untuk menopang pemberdayaan dan kesejahteraan ummat:
Pertama, optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf uang. Seluruh komponen umat perlu untuk terus mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf pada seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan komparatif dapat dilakukan baik pada level pemikiran hukum maupun pada level praktik. Fikih wakaf yang progresif dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui pendekatan lintas mazhab. Pemikiran hukum wakaf Mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya, dapat dijadikan acuan komparatif bagi masyarakat kita yang mayoritas bermazhab Syafi'i.
Selain itu, cerita sukses wakaf masa lampau dalam sejarah Islam serta studi komparatif dengan pengalaman di negara-negara lain masa kini dapat menjadi informasi penting dalam sosialisasi wakaf uang. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Pada masa dinasti Umayyah terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawab pengawasan hakim. Pada masa dinasti Abbasiyab terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan "Shadrul Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleb dinasti Fathimiyyah sebelumnya.
Sebagai contoh adalah Universitas Al Azhar Mesir yang telah berumur lebih 1000 tahun dengan biaya wakaf, Pondok Pesantren Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya. Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.
Kedua, tindakan riil operasional wakaf uang melalui proyek percontohan (pilot project). Prinsipnya, bila ada contoh sukses di depan mata, biasanya masyarakat akan mengikuti dan berkreasi. Pendidikan dan pelatihan akan dengan sendirinya menjadi kebutuhan pengembangan setelah wakaf uang tersebut menjadi fakta di lapangan.
Adapun Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, Misalnya membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim pribumi dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, sebagaimana di atas, dapat mengambil bentuk seperti "wakaf tunai", yang telah diujicobakan di Bangladesh. Wakaf tunai (cash waqf) istilah yang dipopulerkan oleh Profesor M.A. Mannan, dengan Social Investment Bank. Ltd (SIBL)-nya merupakan bagian menjadikan wakaf uang sebagai sumber sumber dana tunai. Konsep Temporary Waqf , pemanfaatan dana wakaf dibatasi pada jangka waktu tertentu dan nilai pokok wakaf dikembalikan pada muwaqif. Hal ini sangat menarik meski masih diperdebatakan kebolehannya. Wacana lain yang menarik adalah memanfaatkan Wakaf Tunai untuk membiayai sektor investasi berisiko, yang risikonya ini diasuransikan pada Lembaga Asuransi Syariah.
Pada poinnya, kita ingin melihat kemajuan wakaf di Indonesia seperti kejayaan wakaf pada masa dinasti-dinasti Islam yang mampu membiayai Negara dan membangun peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan melalui gerakan wakaf uang. Semoga.
HM Cholil Nafis
Wakil Ketua Lebaga Bahtsul Masai (LBM) PBNU
Namun, nampaknya mayoritas umat Islam Indonesia mempersepsikan bahwa wakaf keagamaan lebih penting daripada wakaf untuk tujuan pemberdayaan sosial. Sehingga mereka lebih banyak mempraktikkan wakaf keagamaan, seperti masjid, musalla, makam dan sebagainya. Sementara untuk tujuan pemberdayaan, seperti wakaf pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat belum dipandang penting. Selain itu, para wakif biasanya hanya menyumbangkan tanah atau bangunan sekolah kepada nazhir, namun menutup mata terhadap biaya operasionalnya dan pengembangan ekonominya. Akibatnya, banyak yayasan pendidikan Islam, yang berbasis wakaf, gulung tikar atau telantar.
Jumlah penduduk umat Islam terbesar di seluruh dunia dan Jumlah aset wakaf tanah di Indonesia sangat besar. Wakaf tanah di Indonesia sebanyak 358.710 lokasi, dengan luas tanah 1,538,198,586 M2. Akan tetapi potensi ini belum dapat memberi peran maksimal dalam mensejahterakan rakyat dan memberdayakan ekonomi masyarakat. Penelitian wakaf oleh PBB UIN Syahid Jakarta terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi menunjukkan bahwa wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) daripada organisasi (16%) dan badan hukum (18%).
Selain itu, harta wakaf juga lebih banyak yang tidak menghasilkan (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Selain itu, diketahui bahwa jumlah nazhir yang bekerja secara penuh itu minim (16 %). Umumnya mereka bekerja sambilan dan tidak diberi upah (92%) .
Potensi Wakaf Uang
Wakaf uang, dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu; ia merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Oleh sebab itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak.
Uang, sebagai nilai harga sebuah komoditas, tidak lagi dipandang semata mata sebagai alat tukar, melainkan juga komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan misalnya, memberlakukan sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan ke masyarakat. Model ini memberikan keuntungan bahwa wakif dapat secara fleksibel mengalokasikan (tasharufkan) hartanya dalam bentuk wakaf. Demikian ini karena wakif tidak memerlukan jumlah uang yang besar untuk selanjutnya dibelikan barang produktif. Juga, wakaf seperti ini dapat diberikan dalam satuan satuan yang lebih kecil
Wakaf uang juga memudahkan mobilisasi uang di masyarakat melalui sertifikat tersebut karena beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf (waqif) bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf biasa. Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan lebih mudah memberikan kontribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi wakif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf tunai. Disebutkan, 96 persen kedermawanan diperuntukkan untuk perorangan, 84 persen untuk lembaga keagamaan dan 77 persen untuk lembaga nonkeagamaan. (PIRAC, 2002).
Wakaf uang sudah sejak lama diselenggarakan, yakni di masa Dinasti Mu’awiyyah. Wakaf tunai sebenarnya sudah menjadi pembahasan ulama terdahulu; salah satunya Imam az-Zuhri (wafat tahu 124 H) yang membolehkan wakaf uang (saat itu dinar dan dirham). Bahkan sebenarnya pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i juga membolehkan wakaf uang. Mazhab Hanafi juga membolehkan dana wakaf tunai untuk investasi mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Keuntungan dari bagi hasil digunakan untuk kepentingan umum.
Pada tgl 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 28 – 31 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf) pasal 22 – 27 secara eksplisit menyebut tentang bolehnya pelaksanaan wakaf uang.
Jumlah umat Islam yang terbesar di seluruh dunia merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan (Rp 1,2 trilyun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Strategi Penghimpunan dan Pengembangan Wakaf Uang
Ada beberapa strategi penting untuk optimalisasi wakaf dan wakaf tunai dalam rangka untuk menopang pemberdayaan dan kesejahteraan ummat:
Pertama, optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf uang. Seluruh komponen umat perlu untuk terus mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf pada seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan komparatif dapat dilakukan baik pada level pemikiran hukum maupun pada level praktik. Fikih wakaf yang progresif dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui pendekatan lintas mazhab. Pemikiran hukum wakaf Mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya, dapat dijadikan acuan komparatif bagi masyarakat kita yang mayoritas bermazhab Syafi'i.
Selain itu, cerita sukses wakaf masa lampau dalam sejarah Islam serta studi komparatif dengan pengalaman di negara-negara lain masa kini dapat menjadi informasi penting dalam sosialisasi wakaf uang. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Pada masa dinasti Umayyah terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawab pengawasan hakim. Pada masa dinasti Abbasiyab terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan "Shadrul Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleb dinasti Fathimiyyah sebelumnya.
Sebagai contoh adalah Universitas Al Azhar Mesir yang telah berumur lebih 1000 tahun dengan biaya wakaf, Pondok Pesantren Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya. Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.
Kedua, tindakan riil operasional wakaf uang melalui proyek percontohan (pilot project). Prinsipnya, bila ada contoh sukses di depan mata, biasanya masyarakat akan mengikuti dan berkreasi. Pendidikan dan pelatihan akan dengan sendirinya menjadi kebutuhan pengembangan setelah wakaf uang tersebut menjadi fakta di lapangan.
Adapun Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, Misalnya membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim pribumi dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, sebagaimana di atas, dapat mengambil bentuk seperti "wakaf tunai", yang telah diujicobakan di Bangladesh. Wakaf tunai (cash waqf) istilah yang dipopulerkan oleh Profesor M.A. Mannan, dengan Social Investment Bank. Ltd (SIBL)-nya merupakan bagian menjadikan wakaf uang sebagai sumber sumber dana tunai. Konsep Temporary Waqf , pemanfaatan dana wakaf dibatasi pada jangka waktu tertentu dan nilai pokok wakaf dikembalikan pada muwaqif. Hal ini sangat menarik meski masih diperdebatakan kebolehannya. Wacana lain yang menarik adalah memanfaatkan Wakaf Tunai untuk membiayai sektor investasi berisiko, yang risikonya ini diasuransikan pada Lembaga Asuransi Syariah.
Pada poinnya, kita ingin melihat kemajuan wakaf di Indonesia seperti kejayaan wakaf pada masa dinasti-dinasti Islam yang mampu membiayai Negara dan membangun peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan melalui gerakan wakaf uang. Semoga.
HM Cholil Nafis
Wakil Ketua Lebaga Bahtsul Masai (LBM) PBNU