KISAH HABIB MUNZIR AL MUSAWA
Sungguh orang-orang yang terjebak dalam kemungkaran itu mempunyai hati baik di hati kecilnya. Saya berkali-kali menemukan itu di hati mereka, namun kebaikan itu tersembunyi dalam kesombongan mereka.
Pernah seorang pemabuk dan preman yang menjadi biang kriminal bahkan konon sering menyiksa dan membunuh, orang tidak melihat ia memiliki sifat baik sedikitpun. Namun ketika saya diadukan tentangnya, pasalnya adalah ketika pemuda sekitar wilayah tersebut ingin mengadakan majelis, namun takut pada orang itu. Mereka akan didamprat dan diteror oleh si jahat itu. Ia adalah kepala kejahatan yang konon kebal dan penuh ilmu jahat.
Saya datangi kerumahnya, saya ucapkan salam dan ia tidak menjawab, ia hanya mendelik dengan bengis sambil melihat saya dari atas kebawah, seraya berkata, “Mau apa?”
Saya mengulurkan tangan dan ia mengulurkan tangannya dan saya mencium tangannya, lalu saya pandangi wajahnya dengan lembut dan penuh keramahan. Saya berkata dengan suara rendah dan lembut, “Saya mau mewakili pemuda sini, untuk mohon restu dan izin pada Bapak, agar mereka diizinkan membuat majelis di musholla dekat sini.”
Ia terdiam… roboh terduduk di kursinya dan menunduk. Ia menutup kedua matanya. Saat ia mengangkat kepalanya saya tersentak, saya kira ia akan menghardik dan mengusir, ternyata wajahnya merah dan matanya sudah penuh airmata yang banyak. Ia tersedu sedu berkata, “Seumur hidup saya belum pernah ada kyai datang kerumah saya… Lalu kini... Pak Ustadz datang kerumah saya, mencium tangan saya… tangan ini belum pernah dicium siapapun. Bahkan anak-anak sayapun jijik pada saya dan tak pernah mencium tangan saya, semua tamu saya adalah penjahat, mengadukan musuhnya untuk dibantai, menghamburkan uangnya pada saya agar saya mau berbuat jahat lagi dan lagi…. Kini datang tamu minta izin pengajian pada saya. Saya ini bajingan, kenapa minta izin pengajian suci pada bajingan seperti saya.”
Ia menciumi tangan dan kaki saya sambil menangis, ia bertobat, ia sholat, dan meninggalkan minuman keras dan criminal.
Konon dia ini sering mabuk, jika sudah mabuk maka tak ada di kampung itu yang berani keluar rumah. Namun kini terbalik, ia menjadi pengaman di sana, tak ada orang mabuk berani keluar rumah jika ada dia.
Dia menjadi kordinator musholla, ia mengatur teman temannya para preman untuk membersihkan musholla, dipaksanya para anak buahnya harus hadir majelis, dan demikianlah keadaanya. Ia bertempat di Legoa, Priok, tempat yang sangat rawan dengan kriminal. Orang di wilayah itu jika saya datang mereka berbisik bisik, “Jagoan selatan lagi ketemu jagoan utara!” Mereka kira saya mengalahkannya dengan ilmu, padahal hanya kelembutan Muhammad saw yang saya gunakan.
Hingga kini jika saya jumpa dengan beliau ia pasti menangis memeluk saya. Saya pernah bercanda dengan meneleponnya, saya katakana, “Tolong saya, tolong datang ke sini, saya dalam keadaan genting!”
Ia datang dengan Jaket Jeans, celana jeans, dan dari wajahnya sudah siap tempur. Ia berkata, “Saya siap mati Habib, siapapun yang berani mengganggu habib sudah bukan urusan habib lagi, biar saya yang urus dan saya janji akan memotong kupingnya dan membawakannya pada habib!”
Saya berkata, “Naik saja ke mobil Pak!”
Ia pun naik, saya masuk ke majelis dan mengajaknya hadir, ia berkata, “Mana orangnya Habib?”
Saya katakana, “Tidak… (saya tertawa) cuma mau mengajak bapak ke majelis saya, kangen aja.”
Ia pun lemas dan tertunduk malu. Saya menganggapnya ayah angkat saya hingga kini.
Kejadian lain adalah ketika paman saya mengadakan perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Ia bersama anak-anaknya. Ketika masuk pelabuhan Bakauhuni Lampung, ia melihat seorang berwajah bengis dan menakutkan sedang duduk di pintu pelabuhan. Paman saya bersalam padanya dengan lembut. Si garang itu tidak menjawab dan wajahnya tanpa ekspresi sedikitpun dan acuh saja. Maka lalu paman saya membeli tiket kapal yang ternyata dipalsu oleh calo. Ia terjebak dalam penipuan. Maka ketika paman saya kebingungan dan mulai dikerubuti orang yang menonton, maka si garang itu muncul. Semua orang mundur melihat ia datang, lalu ia berkata, “Ada apa Pak?” Paman saya bercerita akan penipu itu.
Si Garang berkata, “Bagaimana cirri-ciri orang itu?”
Paman saya menceritakannya….
Si Garang pergi beberapa menit dan kembali sambil menyeret orang itu yang sudah babak belur dihajarnya. Ia berkata kepada penipu itu, “Kamu sudah menipu keluarga saya! Ini keluarga saya!” sambil menunjuk pada paman saya.
Rupanya si garang ini preman penguasa pelabuhan itu. Bagaimana ia bisa mengakui paman saya sebagai saudaranya? kenalpun tidak, cuma hanya karena paman saya mengucap salam padanya dengan ramah. Walau wajahnya tidak berekspresi saat itu, tapi ternyata hatinya hancur, ia malu dan haru. Mungkin seumur hidupnya belum pernah ada orang mengucap salam padanya dengan hormat.
Inilah beberapa contoh.
Contoh lainnya adalah ketika saya di suatu masjid, yang memang sudah kebiasaan saya jika jumpa siapapun yang lebih tua jika menjabat tangan saya maka saya mencium tangannya, apakah ia ulama atau bukan. Selesai acara maka terdengar kabar, seorang muadzin masjid itu ternyata adalah pencuri kotak amal masjid. Ia bertobat dan mengakui dosanya kepada sesepuh masjid. Ia menangis dan berkata, “Tangan saya kotor dengan dosa, hati saya hancur ketika tangan saya ini dicium oleh habib itu. Saya menyesal, saya haru, saya terpukul, tangan ini selalu mencuri, tidak pantas dicium oleh seorang tokoh agama.” Ia pun bertobat.
Di lain kesempatan ketika saya di suatu negeri timur tengah, saya lihat di bandara para tentara berwajah bengis dengan senjata laras panjang di pundaknya menjaga di sana sini. Saya bersalam pada seorang yang tampak bengis sekali. Saya menunduk hormat dan senyum lembut. Ia tak menggubrisnya, hanya mendelik dan pergi. Tak lama saya terkena sedikit masalah di pintu imigrasi, hanya pertanyaan pertanyaan iseng yang sering dilancarkan petugas imigrasi di pelbagai Negara. Maka tiba-tiba ada yang membentak di belakang saya. Ia memerintahkan agar orang itu segera melewatkan saya. Ketika saya berpaling ternyata tentara tadi. Ia menarik baju saya untuk segera lewat pintu detektor pengaman bersamanya dan menghardik petugas pengaman untuk minggir seraya berkata dengan bahasa arab, “Silahkan Tuan!”
Saya mengucap terimakasih, ia hanya mengangguk dan pergi. Subhanallah….
Demikian indahnya akhlak… demikian senjata yang lebih tajam dari pedang dan lebih mengalahkan dari peluru… ia mengalahkan musuh dan membuat musuh berbalik menjadi penolong dan pembela....
Jika mereka yang gelap dan penjahat sedemikian mudahnya lebur, apalagi orang yang berilmu saudaraku.
Demikian saudaraku yang ku muliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dengan segala cita-cita.
Wallahu a'lam
Sungguh orang-orang yang terjebak dalam kemungkaran itu mempunyai hati baik di hati kecilnya. Saya berkali-kali menemukan itu di hati mereka, namun kebaikan itu tersembunyi dalam kesombongan mereka.
Pernah seorang pemabuk dan preman yang menjadi biang kriminal bahkan konon sering menyiksa dan membunuh, orang tidak melihat ia memiliki sifat baik sedikitpun. Namun ketika saya diadukan tentangnya, pasalnya adalah ketika pemuda sekitar wilayah tersebut ingin mengadakan majelis, namun takut pada orang itu. Mereka akan didamprat dan diteror oleh si jahat itu. Ia adalah kepala kejahatan yang konon kebal dan penuh ilmu jahat.
Saya datangi kerumahnya, saya ucapkan salam dan ia tidak menjawab, ia hanya mendelik dengan bengis sambil melihat saya dari atas kebawah, seraya berkata, “Mau apa?”
Saya mengulurkan tangan dan ia mengulurkan tangannya dan saya mencium tangannya, lalu saya pandangi wajahnya dengan lembut dan penuh keramahan. Saya berkata dengan suara rendah dan lembut, “Saya mau mewakili pemuda sini, untuk mohon restu dan izin pada Bapak, agar mereka diizinkan membuat majelis di musholla dekat sini.”
Ia terdiam… roboh terduduk di kursinya dan menunduk. Ia menutup kedua matanya. Saat ia mengangkat kepalanya saya tersentak, saya kira ia akan menghardik dan mengusir, ternyata wajahnya merah dan matanya sudah penuh airmata yang banyak. Ia tersedu sedu berkata, “Seumur hidup saya belum pernah ada kyai datang kerumah saya… Lalu kini... Pak Ustadz datang kerumah saya, mencium tangan saya… tangan ini belum pernah dicium siapapun. Bahkan anak-anak sayapun jijik pada saya dan tak pernah mencium tangan saya, semua tamu saya adalah penjahat, mengadukan musuhnya untuk dibantai, menghamburkan uangnya pada saya agar saya mau berbuat jahat lagi dan lagi…. Kini datang tamu minta izin pengajian pada saya. Saya ini bajingan, kenapa minta izin pengajian suci pada bajingan seperti saya.”
Ia menciumi tangan dan kaki saya sambil menangis, ia bertobat, ia sholat, dan meninggalkan minuman keras dan criminal.
Konon dia ini sering mabuk, jika sudah mabuk maka tak ada di kampung itu yang berani keluar rumah. Namun kini terbalik, ia menjadi pengaman di sana, tak ada orang mabuk berani keluar rumah jika ada dia.
Dia menjadi kordinator musholla, ia mengatur teman temannya para preman untuk membersihkan musholla, dipaksanya para anak buahnya harus hadir majelis, dan demikianlah keadaanya. Ia bertempat di Legoa, Priok, tempat yang sangat rawan dengan kriminal. Orang di wilayah itu jika saya datang mereka berbisik bisik, “Jagoan selatan lagi ketemu jagoan utara!” Mereka kira saya mengalahkannya dengan ilmu, padahal hanya kelembutan Muhammad saw yang saya gunakan.
Hingga kini jika saya jumpa dengan beliau ia pasti menangis memeluk saya. Saya pernah bercanda dengan meneleponnya, saya katakana, “Tolong saya, tolong datang ke sini, saya dalam keadaan genting!”
Ia datang dengan Jaket Jeans, celana jeans, dan dari wajahnya sudah siap tempur. Ia berkata, “Saya siap mati Habib, siapapun yang berani mengganggu habib sudah bukan urusan habib lagi, biar saya yang urus dan saya janji akan memotong kupingnya dan membawakannya pada habib!”
Saya berkata, “Naik saja ke mobil Pak!”
Ia pun naik, saya masuk ke majelis dan mengajaknya hadir, ia berkata, “Mana orangnya Habib?”
Saya katakana, “Tidak… (saya tertawa) cuma mau mengajak bapak ke majelis saya, kangen aja.”
Ia pun lemas dan tertunduk malu. Saya menganggapnya ayah angkat saya hingga kini.
Kejadian lain adalah ketika paman saya mengadakan perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Ia bersama anak-anaknya. Ketika masuk pelabuhan Bakauhuni Lampung, ia melihat seorang berwajah bengis dan menakutkan sedang duduk di pintu pelabuhan. Paman saya bersalam padanya dengan lembut. Si garang itu tidak menjawab dan wajahnya tanpa ekspresi sedikitpun dan acuh saja. Maka lalu paman saya membeli tiket kapal yang ternyata dipalsu oleh calo. Ia terjebak dalam penipuan. Maka ketika paman saya kebingungan dan mulai dikerubuti orang yang menonton, maka si garang itu muncul. Semua orang mundur melihat ia datang, lalu ia berkata, “Ada apa Pak?” Paman saya bercerita akan penipu itu.
Si Garang berkata, “Bagaimana cirri-ciri orang itu?”
Paman saya menceritakannya….
Si Garang pergi beberapa menit dan kembali sambil menyeret orang itu yang sudah babak belur dihajarnya. Ia berkata kepada penipu itu, “Kamu sudah menipu keluarga saya! Ini keluarga saya!” sambil menunjuk pada paman saya.
Rupanya si garang ini preman penguasa pelabuhan itu. Bagaimana ia bisa mengakui paman saya sebagai saudaranya? kenalpun tidak, cuma hanya karena paman saya mengucap salam padanya dengan ramah. Walau wajahnya tidak berekspresi saat itu, tapi ternyata hatinya hancur, ia malu dan haru. Mungkin seumur hidupnya belum pernah ada orang mengucap salam padanya dengan hormat.
Inilah beberapa contoh.
Contoh lainnya adalah ketika saya di suatu masjid, yang memang sudah kebiasaan saya jika jumpa siapapun yang lebih tua jika menjabat tangan saya maka saya mencium tangannya, apakah ia ulama atau bukan. Selesai acara maka terdengar kabar, seorang muadzin masjid itu ternyata adalah pencuri kotak amal masjid. Ia bertobat dan mengakui dosanya kepada sesepuh masjid. Ia menangis dan berkata, “Tangan saya kotor dengan dosa, hati saya hancur ketika tangan saya ini dicium oleh habib itu. Saya menyesal, saya haru, saya terpukul, tangan ini selalu mencuri, tidak pantas dicium oleh seorang tokoh agama.” Ia pun bertobat.
Di lain kesempatan ketika saya di suatu negeri timur tengah, saya lihat di bandara para tentara berwajah bengis dengan senjata laras panjang di pundaknya menjaga di sana sini. Saya bersalam pada seorang yang tampak bengis sekali. Saya menunduk hormat dan senyum lembut. Ia tak menggubrisnya, hanya mendelik dan pergi. Tak lama saya terkena sedikit masalah di pintu imigrasi, hanya pertanyaan pertanyaan iseng yang sering dilancarkan petugas imigrasi di pelbagai Negara. Maka tiba-tiba ada yang membentak di belakang saya. Ia memerintahkan agar orang itu segera melewatkan saya. Ketika saya berpaling ternyata tentara tadi. Ia menarik baju saya untuk segera lewat pintu detektor pengaman bersamanya dan menghardik petugas pengaman untuk minggir seraya berkata dengan bahasa arab, “Silahkan Tuan!”
Saya mengucap terimakasih, ia hanya mengangguk dan pergi. Subhanallah….
Demikian indahnya akhlak… demikian senjata yang lebih tajam dari pedang dan lebih mengalahkan dari peluru… ia mengalahkan musuh dan membuat musuh berbalik menjadi penolong dan pembela....
Jika mereka yang gelap dan penjahat sedemikian mudahnya lebur, apalagi orang yang berilmu saudaraku.
Demikian saudaraku yang ku muliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dengan segala cita-cita.
Wallahu a'lam