Ditanah Jawa ini banyak berdiri pondok-pondok pesantren yang memiliki
beribu-ribu santri. Para santri itu berdatangan dari segala penjuru,
mereka datang untuk menuntut ilmu agama agar bisa hidup secara benar.
Tersebutlah seorang santri yang datang dari jauh bernama Kholid. Ia anak
yang rajin juga pandai. Dikarenakan ia bukan berasal dari keluarga
berada, maka ia ingin sekali meringankan beban orang tua. Akhirnya ia
putuskan untuk berjualan salak walaupun dengan modal hasil pinjaman.
Pergilah Kholid ke pasar dengan membawa sekeranjang salak, niatnya ia
akan berjualan hari itu. Banyak teman-temannya yang mengolok-olok dan
meledek, akan tetapi ia pantang mundur tak memperdulikannya. Sesampai di
pasar ia pilih tempat yang agak teduh dan mulailah ia menata jualannya.
Lama menunggu tak juga ada pembeli yang datang. Sampai pada akhirnya
datanglah seorang gadis cantik jelita menawar salak dagangan kholid.
“Salaknya manis Pak?
“Manis Neng”
“Satu kilonya berapa?”
“Tiga ribu saja, Murah Neng?”
“Inalillahi Pak, wong salak sebesar upil saja tiga ribu, seribu aja ya Pak!”
Dongkol bin mangkel salaknya dihina, tapi ia harus menjaga etika
apalagi ia seorang santri. Ia diam sesaat agar gadis itu mau membeli dan
ia tetap sopan santun.
“Saya yang inalillahi Neng!”jawab si Kholid dengan nada datar.
“Kenapa Pak?” tanya si gadis heran
“Masak upil si eneng SEGEDE salak!”
Mendengar jawaban si Kholid, sang gadis merah padam dan malu sekali.
Tanpa basa basi lagi ia pun berkata” Bungkus Pak, satu kilo, ini
uangnya.”