Ahli Gramatika tapi tak Tahu Budaya


Pada suatu hari diselenggarakan pengajian kitab Manahijul Imdad, di sebuah pesantren dengan menggunakan sistem bandongan, kiainya membaca para santri menyimak. Di akhir pengajian  Sang kiai menguji kemampuan para santri membaca kitab tersebut. Santri yang dipilih yang paling senior yang tampak kemempuan gramatika Arabnya sangat tinggi.
Seorang santri yang disuruh membaca dengan sangat lancar, tetapi mengalami kesulitan ketika menjumpai kata Al-JMPSY, kemudian dibaca dengan Al-Jumfusy, kiainya bilang, “Salah!”
Lalu santri yang lain disuruh mengganti membaca kata itu dengan Al Jamfasi, “Salah lagi!” kata Kiai. Lantas santri yang satu lagi maju membaca Al-Jamfusi, “Salah semua!” bentak kiai.
Memang huruf Arab demikian juga huruf Ibrani cenderung merupakan kumpulan konsonan yang tanpa vokal, sehingga memiliki bunyi atau bacaan yang tidak pasti, tergantung posisi dan konteksnya. Apalagi bila kalimat tersebut ajam, dari bahasa asing, non Arab.
“Kalian ini semua ke-arab-araban,” kritik Sang Kiai. “Bacaan yang benar kata itu adalha Al Jampesy, artinya Kiai yang berasal dari Jampes atau Njampes yang ada di Kediri itu lho. Makanya walaupun kalian  pinter gramatika, tetapi pelajarilah budaya, karena budaya diluar gramatika, sehingga kalian tidak terkecoh oleh ilmu gramatika. Aneh kalau santri Jawa tidak tahu Jampes yang ada di Kediri. Itu ada ulama hebat.”
“Ya Kiai,” jawab santri serentak. (koun)