Kiai Warsun Bimbang

Kisah tentang Kamus Al-Munawwir ini diceritakan kembali oleh Yahya C. Staquf. Ia bercerita ihwal kamus yang disusun Kyai Warsun Munawwir, menjelang penerbitan pertama kalinya.

Ketika itu, naskah kamus sudah selesai ditulis, tapi Kyai Warsun tak kunjung menyerahkannya kepada penerbit untuk dicetak. Ia membawa naskah itu ke Rembang untuk ditunjukkan kepada Kyai Bisri Mustofa,

“Mohon diperiksa, Kiai, siapa tahu masih ada kekurangannya”.

Kyai Bisri malah tak mau menyentuh naskah itu.

“Buat apa?” katanya, “sudah jadi begini, ya langsung dicetak saja!”

Kiai Warsun bimbang,


“Lha wong Al Munjid saja masih banyak kesalahannya, apalagi cuma bikinan saya ini…”

“Lha iya!” Kyai Bisri menyergah, “Walaupun masih banyak kesalahan diterbitkan ya nyatanya ‘ndak apa-apa to? Tetap banyak manfaatnya juga to?”

Kiai Warsun garuk-garuk kepala.

“Guuus, Gus…”, Kiai Bisri melanjutkan, “sampeyan itu sudah mencurahkan kemampuan habis-habisan untuk mengumpulkan, meneliti, menyusun, menulis, sampai jadi naskah sebegitu tebalnya… kurang apa lagi?

Kiai Warsun akhirnya mendapatkan kemantapan untuk menerbitkan naskah itu. Atas saran Kyai Ali Ma’shum, kakak iparnya, kamus itu diberi judul “Al Munawwir”, tafa'ulan kepada Kyai Muhammad Munawwir, ayahandanya sendiri.

“Judul kitab yang enak ya seperti kamusnya Warsun itu, sederhana dan gampang diingat”, kata Kiai Ali kepadaku suatu kali, “Jangan seperti embahmu… bikin judul sukanya yang aneh-aneh… ‘Al Ibriz…. (artinya: emas murni) Mbok tadinya kasih judul ‘Al Bisri’ gitu saja kan enak to…?” (Ajie Najmuddin/Terong gosong)