Zakat Uang Simpanan

Uang yang disimpan, entah di bawah tempat tidur atau di bank, alias tidak diputar untuk modal usaha tetap wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai nisab atau jumlah tertentu sehigga wajib zakat (senilai harga 85 gram emas murni).
Zakat uang simpanan dikeluarkan setiap tahun, selama jumlah uang masih mencapai satu nishab, dipersamakan dengan emas dan perak yang setiap tahunnya bisa berubah nilainya. (Keputusan Muktamar ke-8 Nahdlatul Ulama di Jakarta, tanggal 12 Muharram 1352 H./ 7 Mei 1933 M.)
Hal ini didasarkan pada keterangan dalam kitab Bajuri-Fathul Qorib Juz I dan Bujairimi-Iqna’, bahwa pada benda-benda tambang yang berpotensi untuk tetap mempunyai nilai tambah seperti emas dan perak wajib dizakati selama barangnya masih ada dan mencapai satu nishab. Sementara pada biji-bijian zakatnya hanya setahun sekali saja walaupun biji-bijian tetap ada selama beberapa tahun.
Tahun pertama pengeluaran zakat dihitung setelah seseorang menyimpan uangnya selama satu tahun. Tahun kedua dihitung setelah melewati satu tahun dari tahun pertama, begitu seterusnya. Besarnya zakat yang dikeluarkan tiap tahunnya adalah 2,5 persen, sama dengan zakat barang dagangan.
Jika asumsi harga emas murni hari ini adalah Rp. 150.000,- per gramnya maka nishab zakat uang simpanan adalah 85 gram emas murni x Rp. 150.000,-  = Rp. 12.750.000,-. Zakat yang dikeluarkan = 2,5 % x jumlah uang simpanan.

Misalnya seorang menyimpan uang pada tanggal 29 Desember 2005 sejumlah Rp.50.000.000,- Pada tanggal 29 Desember 2005 uang simpanan berjumlah Rp.45.000.000,- (masih satu nishab) maka zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % X Rp.45.000.000,- = Rp.1.125.000,-.
Jika pada tahun berikutnya uang simpanan masih mencapai satu nishab (berdasarkan perhitungan harga emas murni waktu itu) maka tetap wajib dikeluarkan zakatnya seperti pada perhitungan di atas.
Sebagai catatan, seorang muslim tidak diperkenankan untuk melakukan trik tertentu agar tidak mengeluarkan zakat. Misalnya membelanjakan uangnya habis-habisan menjelang satu tahun kepemilikan hartanya sehingga kurang dari satu nishab. Orang seperti ini disebut sebagai orang yang bakhil, atau dalam bahasa fikih yang tegas disebut sebagai orang yang ingkar terhadap perintah Allah SWT. (nam*)