LKiS itu NU Bukan?

Sebagai orang yang suka duduk-duduk di LKiS, Yogyakarta, saya sesekali masih ditanya, baik oleh teman, ataupun orang yang belum aku kenal.

Pertanyaannya, menurut saya, remeh, "Kang, LKiS itu NU bukan?"

Biasa saya jawab dengan singkat saja, "Ya, NU."

Tapi kadang bikin kliyengan juga, jika si penanya mulai melanjutkan pertanyaannya, "Apa buktinya?

Kalau ada pertanyaan lanjutan begitu, saya jawab, "Ya tengok saja sendiri."

Selanjutnya pasti ada pertanyaan begini, "Tengok ke mana?" 

Dan saya jawab, "Ya ke Yogya. Bisa ke penerbitnya, bisa ke yayasannya, bisa ke pesantrennya. Bisa juga ke aktivisnya."

"Terus?"

Hadeh! Kalau sudah bertanya dengan "terus-terus?" begitu saya betul-betul kliyengan. Dan saya mulai ngawur jawabnya.

"Begini saja, Mas. Datang saja ke sana, tapi pas ada acara. Terserah acara apa saja, yang penting mereka pake mik atau spiker. Nah, kalau mik atau spikernya kresek-kresek atau ndengung, berarti LKiS itu NU. Tapi kalau suaranya bening, ndak kresek-kresek atau tanpa ndengung, dan enak didengar, itu mereka bukan NU." (Hamzah Sahal)