Ketika Anak Kiai Helah


Iman Budhi Santosa pernah cerita pada saya tentang ulah anak kiai terpandang. Sebutlah bernama Kang Muad. Dia mendapatkan cerita dari ayah Kang Muad Sendiri, sebutlah Kiai Karim.

"Kang Iman, Sampeyan tau tidak kenapa Muad saya sekolahkan jauh-jauh?" 

"Tidak, Kiai. Memang kenapa? Rupanya ada yang istimewa. Senang sekali jika saya bisa mendengarnya."

"Anak saya itu sewaktu remaja bangornya minta ampun. Dia pernah bikin saya nangis karena saya malu. Saya didatangi pengurus pondok rame-rame hingga dua kali."

"Apa sebabnya, Kiai? Kayaknya kok serius sekali? Kan Kang Muad alim-alim saja?" Iman Budhi Santosa dibuat penasaran.

"Sewaktu usia remaja, si Muad teman Sampeyan itu, sukanya ngintip kamar mandi santri putri. Pengurus pondok sudah lama tahu. Cuma tidak enak mau bicara ke saya. Tapi karena sudah terlalu sering, pengurus pondok akhirnya datang juga. Aku sidang sendiri Muad, aku tanya baik-baik. Tapi dia punya alasan yang mengagetkan."

"Apa alasan Kang Muad, Kiai?

"Muad bilang ingin mengatahui, apakah santri putri kecing sudah sesuai etika atau belum, kencingnya jongkok atau berdiri. Kata Muad hal itu penting. Dan dia harus melakukan karena yang lain tidak berani melakukannya. Saya kaget. Tapi saya pikir itu helah saja, harus saya sekolahkan jauh-jauh si Muad."

Mendengar cerita tersebut, Iman Budhi Santosa kaget, tapi juga tersenyum-senyum. Sekarang, Kang Muad sudah dewasa. Pengetahuannya luas. Jaringan pesantrennya kuat. Dia tahu kiai A pengikut tarekat apa, kiai B suka ziarah ke mana, Kiai C punya karomah apa. Bahkan konon, Muad pernah mbadalin bapaknya ngaji salah satu kitab ushul fiqih yang berat, Jam'ul Jawami'. (Hamzah Sahal)