Persaingan Keluarga Kiai

Suksesi kepemimpinan di pesantren sering tidak mulus karena anak kiai banyak, sehingga berebut kekuasan setelah kiai utama meninggal. Persaingan itu biasanya berujuang pada pembagian kekuasaan. Pesantren dipecah menjadi beberapa bagian, sehingga mereka menjadi pemimpin bersama-sama.

Namun demikian persaingan terus berlangsung, yang satu membangun yang lain ikut bangun, yang satu mengadakan acara yang lain menyaingi kegiatan serupa.

Di sebuah pesantren di Yogyakarta peristiwa itu terjadi dengan nyata. Seorang kiai tertua mendirikan Ma’had Ali (Pesaantren Tinggi), lalu adiknya tidak mau kalah, setahun kemudian di komplek pesantren yang dipimpinnya didirikan Ma’had A’la (Pesantren Lebih Tinggi). Adiknya yang bungsu ternyata tidak mau kalah, dua tahun kemudian ia  mendirikan pesantren dengan nama mentereng, Ya’lu wala Yu’la alaih (tertinggi tiada yang menandingi).

Setelah masing masing berdiri, tidak ada santri yang betah di pesantren itu, sebab di dalamnya hanya pengajian biasa, soalnya pesantren didirikan tidak dirancang dengan baik, tidak diajarkan kitab yang berbobot dan kiai yang berbobot pula. Akhirnya seuanya terpuruk. 

Setelah menyadari kekeliruannnya lalau mereka berembuk ketiganya dipadu dirancang secara dingin, santri pun kembali datang.(Bregas)