Sudah menjadi kebiasaan kelompok Islam modernis-Wahabi
yang menyebarkan ajarannya dengan cara mencaci maki, menteror, merampas
asset-aset orang lain, karena itu banyak madrasah, surau atau masjid
yang dibangun kaum Sunni bermazhab diambil alih oleh kelompok itu.
Suatu hari pada tahun 1934 saat gencar-gencarnya kaum Wahabi menyerbu
Sumatera Selatan, mereka mulai masuk ke berbagai surau dan masjid,
mencari celah untuk menguasai. Suatu ketika sembahyang dilaksanakan,
sementara imamnya seorang yang alim, sehingga sangat hati-hati dalam
memimpin sembahyang itu. Untuk menata hati dan pikiran bukan perkara
mudah. Tetapi ia buka orang yang was-was, karena itu dia takbiratul ihram sampai tiga kali.
Melihat kenyataan itu seorang pemimpin Wahabi yang kebetulan menjadi
makmum melihatnya sebagai kekeliruan, maka ditariknaya kiai tersebut
dengan kasar agar mundur ke shaf belakang, karena dianggap telah
melakukan bid'ad, melakukan takbiratul ihram sampai tiga kali. Langsung dengan lancang menempatkan diri sebagai imam. Saat itu pula ia mengucakpan takbiratul ihram:
Allahu Akbar, lalu segera menoleh ke belakang, sambil berkata;
beginilah cara solat yang benar, takbiratul ihram sekali langsung
jadi.
Para makmum heran, menjadi imam kok berbicara berarti shalat imam
batal, dengan demikian juga tidak bisa dijadikan imam lagi. Kini ganti
ia diturunkan ramai-ramai, karena melanggar tata-tertib shalat. Lantas
sembahyang dilanjutkan dengan imam semula dengan penuh khusuk, tidak
sekadar seperti orang baris-berbaris, tapi hatinya liar. Itulah
perbedaan antara sembahyang orang awam dengan orang yang ikhlas dan
khusuk. Para makmum memilih imam yang khusuk yang mampu membimbing
rohani mereka taqarrub kepada Allah. (MDZ)