Bagi pesantren, menguasai bahasa arab seolah-olah menjadi kewajiban
yang sifatnya fardhu �ain supaya santri mampu membaca kitab kuning.
Sehingga pelajaran di pesantren hampir dipastikan pasti ada Nahwu shorof
(Gramatikal Arab) atau sering kita sebut �ilmu alat�.
Begitu juga santri di Pesantren Islamiyah, sore itu terlihat para santri putra pada berangkat ke madrasah diniyyah, di salah satu kelas persiapan (Shifir) terlihat si Ustadz membuka kitab Al-Jurumiyah (nahwu) dan mulai menerangkan tentang kalimat verbal .
�ja�a zaidun artinya zaid telah pergi, ini namanya kalimat fi�liyah yaitu kalimat yang mengandung fiil dan fail�, jelas ustadz disambung dengan penjelasan kalimat nominal .
Setelah selesai mempelajari nahwu, Ustadz meminta para santri membuka tashrif sorof sebagai penutup sebelum pelajaran usai.
Setelah membaca tashrifan fa�ala yaf�ulu fa�lan wa maf�alan dan seterusnya, sang ustadz memberikan contoh fahimtu fahimna untuk kata yang sama wazan fa�ila tapi di lengkapi dengan dhomir �tu� dan �na�.
�coba Rahman, beri contoh kalimat yang sama dengan fahimtu fahimna �, tanya Ustadz
rodhitu rodhina�, jawab Rahman
"shohih", jawab ustadz
�Burhan, beri satu contoh lagi�, kata Ustadz melihat Burhan yang termenung.
Karena nahwu shorof adalah pelajaran yang paling tidak disukainya, dengan asal ia menjawab. �argentu-argentina�, jawabnya dengan enteng.
�kamu ini ada-ada saja, dasar maniak bola �, kata santri yang lain. (alf)
�Burhan, beri satu contoh lagi�, kata Ustadz melihat Burhan yang termenung.
Karena nahwu shorof adalah pelajaran yang paling tidak disukainya, dengan asal ia menjawab. �argentu-argentina�, jawabnya dengan enteng.
�kamu ini ada-ada saja, dasar maniak bola �, kata santri yang lain. (alf)