Ketika waktu dzuhur tiba, Kiai Utsman bergegas menuju masjid. Sebelum
melaksanakan shalat dzuhur, ia melakukan shalat sunnah terlebih dahulu.
Ketika muadzdzin mengumandangkan iqamah, Kiai Utsman pun langsung menuju “pengimaman” untuk memimpin shalat dzuhur.
“Ushalli ...” terdengar suara berbisik Kiai Utsman ketika akan melaksanakan shalat. Lalu beliau pun bertakbir “Allahu Akbar”.
Karena dalam shalat dhuhur, fatihah dan surat yang dibaca oleh imam dilakukan secara berbisik, maka suasana masjid pun terasa hening dan khusyuk.
Ketika muadzdzin mengumandangkan iqamah, Kiai Utsman pun langsung menuju “pengimaman” untuk memimpin shalat dzuhur.
“Ushalli ...” terdengar suara berbisik Kiai Utsman ketika akan melaksanakan shalat. Lalu beliau pun bertakbir “Allahu Akbar”.
Karena dalam shalat dhuhur, fatihah dan surat yang dibaca oleh imam dilakukan secara berbisik, maka suasana masjid pun terasa hening dan khusyuk.
Keheningan masjid terusik oleh suara seorang makmum, yang kebetulan memiliki penyakit wawas. Dengan suara agak keras, dengan maksud untuk mematahkan waswasnya si makmum melafadzkan “ushalli fardhodh-dhuhri ...... mak-mu-man ...... (karena was-was, diulang lagi) .... mak-mu-man (beberapa kali)”
Kontan saja, suara makmum yang was was itu mengganggu kekhusyukan yang lain, lebih-lebih bagi Kiai Utsman, yang kebetulan tepat di depan makmum yang was was itu. Karena terus disebut “mak-mu-man” ia pun terpaksa membatalkan shalatnya, menoleh ke belakang, dan membentak sang makmum “Ada apa dengan emakku, he?”
Riuh rendahlah suasana masjid, dengan perasaan yang bercampur baur yang dialami oleh para makmum yang juga terpaksa membatalkan shalatnya. (Muhammad Nuh)