Mustahiq zakat atau orang yang berhak menerima zakat harta benda (zakat maal) ada delapan asnaf (golongan) yakni fakir, miskin, 'amil (petugas zakat), mualaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang yang telah memerdekakan budak –zaman dulu), ghorim (orang yang berhutang), orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu sabil (yang dalam perjalanan). Dari delapan asnaf itu, yang mesti didahulukan adalah fakir dan miskin.
Biasanya fakir didefinisikan sebagai orang yang tidak berpunya
apa-apa, juga tidak bekerja alias pengangguran. Sementara orang miskin
adalah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tapi
serba berkekurangan.
Umumnya zakat yang diberikan kepada mereka bersifat konsumtif, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini kurang begitu membantu mereka
untuk jangka panjang, karena uang atau barang kebutuhan sehari-hari yang
telah diberikan akan segera habis dan mereka akan kembali hidup dalam
keadaan fakit atau miskin. Nah, banyak sekali pendapat bahwa zakat yang
disalurkan kepada dua golongan ini dapat dapat bersifat “produktif”,
yaitu untuk menambah atau sebagai modal usaha mereka.
Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi di zaman
Rasulullah SAW. Dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari
Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah telah
memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau
disedekahkan lagi.
Disyaratkan bahwa yang berhak memberikat zakat yang bersifat
produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada
para mustahiq agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Di
samping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam
kegiatan usahanya, juga harus memberikan pembinaan ruhani dan
intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan dan
keislamanannya.
Selain dalam bentuk zakat produktif, Syekh Yusuf al-Qardhawi, dalam bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat,
menyatakan bahwa juga diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau
perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan
keuntungannya diperuntukkan bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan
terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Dan untuk saat ini
peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat digantikan lembaga-lembaga
sakat atau badan amil zakat (BAZ).
Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyyah atau pembahasan masalah keagamaan
penting dalam Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren
Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, pada 25-28 November 1989 memberikan
arahan bahwa dua hal di atas diperbolehkan dengan maksud untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi para mustahiq zakat. Namun, ada
persyaratan penting bahwa para calon mustahiq itu sendiri sebelumnya
harus mengetahui bahwa harta zakat yang sedianya mereka terima akan
disalurkan secara produktif atau didayagunakan dan mereka memberi izin
atas penyaluran zakat dengan cara seperti itu.
Pengambilan dalil antara lain dari Al-Majmu’ ‘ala Syarhil Muhadzdzab,
juz VI, hlm. 178. Bahwa tidak boleh bagi petugas penarik zakat dan
imam/penguasa untuk mengelola harta-harta zakat yang mereka peroleh
kecuali para calon penerima zakat telah setuju atau memberikan kuasa
atas pengelolaan zakat itu untuk mereka.
Para ulama sangat berhati-hati kalau-kalau harta zakat itu tidak
benar-benar diketahui dan sampai kepada mustahiqnya. Dengan kata lain,
para mustahiq zakat harus tentukan terlebih dahulu dan kemudian ada
kesepakatan antara pengelola zakat dengan mereka, baru kemudian zakat
bisa disalurkan secara produktif atau didayagunakan untuk kepentingan
para mustahiqnya. (A. Khoirul Anam)