Jakarta.Nu.Online.Gelar sebagai bapak perfilman nasional bagi Usmar Ismail bukanlah yang di terapkan begitu saja terhadap Ketua Umum Lesbumi ini secara serta merta, melainkan merupakan hasil perjuangan keras yang di tempuh sejak masa kanak-kanak. Anak Minang yang lahir di Bukittinggi 20 Maret 1921 ini di didik keluarganya sangat ketat dalam beragama, namun ia mempunyai hobi yang saat itu di pandang sebagai melanggar ajaran agama yaitu menonton film di gedung bioskop, bahkan si anak hingga pada taraf kecanduan, sehingga palang pintu rumah bahkan cemeti sang ayah tidak mampu menghalangi hasrat sang anak terhadap film.
Bahkan pada bulan Ramadhan ketika yang lain tekun menjalankan salat tarawih di masjid, sebaliknya ia malah khusuk menyimak film di gedung bioskop. Bahkan ketika melanjutkan sekolah di Mulo Padang, kebiasaan tersebut tidak sirna, malah semakin menjadi-jadi. Kalau tidak ada uang juga tidak menjadi masalah sebab ia bisa bersekongkol dengan penjaga pintu bioskop yang kebetulan bekas teman sekolahnya, sehingga bisa menyelundupkan Usmar masuk gedung tatkala semua penonton telah masuk.
Usai menamatkan Mulo di Padang Usmar melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemene Middlebare School) di Yogjakarta, semasa di AMS tahun 1940-an itu Usmar mulai aktif belajar teater, hingga suatu ketika ia
terpilih sebagai pemeran Mercurios, tokoh terkenal dalam mitologi Yunani. Walaupun baru pemula, tetapi karena punya bakat yang baik, maka ia berhasil membawakan perannya dengan gemilang, sehingga banyak mendapatkan pujian dari para guru dan sejawatnya, yang kebanyakan berkebangsaan Belanda dan orang asing lainnya. Namun demikian lingkungan yang serba Belanda dan Barat itu, Usmar tidak menjadi snob, tetap memiliki keprcayaan diri dan kebangsaan yang kuat, justeru karena bangsa ini lagi menderita, sehingga perlu di perhatikan dan di tolong.
Pada panjajahan Jepang Usmar bekerja di bagian pusat kebudayaan (Kaimin Bunka Sidosha) di Jakarta bersama Armin Pane dan para budayawan lainnya. Dengan para sastrawan itu Usmar bekerja sama untuk mementaskan beberapa drama, selain itu ia juga menulis lirik beberapa lagu yang kemudian di gubah oleh musisi nasional terkenal Cornel Simandjuntak.1 Bahkan bisa dilihat himne FFI adalah ciptaan Usmar Ismail yang lagunya juga di gubah oleh Cornel Simandjuntak.
Keterlibatannya di dunia sandiwara semakin mendalam ketika pada tahun 1944 mendirikan kelompok sandiwara Maya bersama abangnya Abu Hanifah, Rosihan Anwar dan sebagainya. Peristiwa ini di pandang sebagai tonggak baru bagi munculnya teater modern di Indonesia, yaitu berdasarkan naskah sastra drama dan tehnik teater Barat.2 Drama terkenal yang di pentaskan adalah Taufan di Atas Asia karya El-Hakim (Abu Hanifah). Sementara drama terkenal yang di tulis Usmar saat itu adalah, Mutiara dari Nusa Laut (1943), Mekar Melati (1945), Liburan Seniman (1945), kumpulan naskah-naskah tersebut kemudian di terbitkan dengan judul Sedih dan Gembira.
Pengalaman bergumul yang mendalam di dunia sastra, drama dan media massa dan pengalaman di medan perang tampaknya merupakan modal yang penting bagi Usmar untuk terjun ke dunia perfilman.Maka pada tanggal 20 Maret 1950 ia mendirikan perusahaan perfilman nasioanal yang pertama yaitu Perfini (Perstuan Film Nasional Inndonesia), persis setahun mendahului berdirinya Persari, yang juga di pelopori oleh tokoh Lesbumi Djamaluddin Malik. Hari bersejarah itu kemudian di tetapkan sebagai hari lahir film Nasional,3 dan Usmar Ismail sang pendirinya juga di kukuhkan sebagai bapak perfilman nasional. Studio Perfini yang berpusat di kawasan Mampang Raya itu di lengkapi dengan sarana shooting, editing dan sebagainya.
Pembaruan terpenting yang dilakukan Usmar adalah mengubah orientasi film dari sekadar hiburan dan bahan dagangan, dijadikan sarana pendidikan dan perjuangan. Karena itu film yang pertama kali di produksi Usmar lewat Perfini adalah Darah dan Doa atau juga di kenal sebagai The Long March of Siliwangi berdasarkan skenario yang di tulis Sitor Situmorang, dan di sutradarai sendiri oleh Usmar Ismail. Ini merupakan film yang mengkisahkan perjuangan kemerdekaan nasional. Suatu peristiwa yang di alami dan I hayati Usmar dalam hidupnya. Atas segala ikhtiarnya yang cemerlang dan dan tak kenal lelah itu, filmnya Perjuangan mendapat anugerah sebagi film terbaik dalam festival film Moskow 1961. Selain pada tanggal 17 Agustus 1962, beberapa bulan setelah berdirinya Lesbumi, Presiden Soekarno memberikan panghargaan Wijayakusuma, atas karyanya dibidang pembaruan perfilman nasional.1
Menjadi kewajiban para sineas Indonesia yang punya idealisme untuk memberikan apresiasi atau pengertian mengenai film yang lebih jelas dan proporsonal.2 Ini merupakan tugas para seniman pendewasaan masyarakat. Niatnya untuk mengembangkan apresiasi kesenian terutama film di lingkungan masyarakat santri itulah antara lain yang mendorong dia untuk masuk partai NU dan kalangan kaum santri mendirikan lembaga kebudayaan Lesbumi. Dan Usmar bisa melihat hasil usahanya tersebut. Karena saat itu tercipta apresiasi seni yang sangat tinggi di kalangan kaum santri.
Usmar Ismail memiliki pandangan kesenian yang sangat