Wiridan itu maksudnya membaca bacaan tertentu setelah shalat. Jika
dikumpulan semuanya ada puluhan macam. Tapi kalimat pokoknya hampir
sama. Tentu ada lafadl:
سُبْحَانَ اللهُ, الحَمْدُ ِللهِ, اللهُ أكْبَرُ
Mukaddimahnya bisa panjang, juga penutupnya. Hal itu berdasarkan pelajaran yang diperoleh dari kiai atau guru dari santri yang bersangkutan.
Mengenai cara mewiridnya, orang NU biasanya memilih dengan suara keras yang dituntun oleh seorang imam. Imam dapat mengaji santri yang belum hafal dan dilakukan 5 kali setiap hari atau lebih.
Diriwayatkan dari Sahabat Tsauban, berkata, bila usai mengerjakan shalat, Rasulullah SAW membaca istigfar 3 kali
أسْتَغْفِرُاللهَ العَظِيْمِ
lalu membaca:
اللّهُمَّ أنْتَ السَلام وَمِنْكَ السَّلام تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلالِ وَالإكْرَامِ
(HR Muslim)
Hendaknya memang wiridan tidak dibaca terlalu keras jika masih ada yang mengerjakan shalat atau tidur agar tidak mengganggu. Akan tetapi sudah menjadi kebiasaan di pesantren santri yang terlambat melalukan shalat (makmum masbuq) tidak terlalu banyak, dan tetap mengucapkan wirid dengan suara keras akan sangat bermanfaat buat santri yang lainnya.
Para ulama membolehkan imam membaca wirid atau doanya dengan suara keras bila imam bermaksud mengajarkannya kepada para santri atau makmum. (Lihat Mugnî al-Muhtâj I, hal. 182).
Dikisahkan, Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan. (Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 56)
KH Munawir Abdul Fatah
Krapyak, Yogyakarta