Sepanjang hidupnya Rasulullah SAW senantiasa
mengedepankan perdamaian di antara kaumnya, baik sebelum Beliau diangkat
sebagai Nabi dan Rasul melalui pemberian wahyu yang pertama kali
diterimanya di gua Hira, maupun kelak ketika Beliau telah berhasil
memimpin puluhan ribu prajurit dan memiliki kemampuan untuk
menghancurkan pasukan musuh.
Suatu ketika, pada masa Rasulullah masih belia, terjadi pertikaian yang cukup panas antara dua klan yang bertetangga di dalam keluarga suku Qurays. Hingga ketika disepakati sebuah gelar perang antara dua klan yang saling berseteru ini. Maka pada hari yang telah ditentukan, Rasullullah berada persis di tengah-tengah gurun yang disepakati sebagai medan perang.
Bagi Muhammad muda waktu itu, keadaaan benar-benara mendebarkan, karena ia hanya seorang diri di tengah-tengah kerumunan massa yang ingin saling menghancurkan dan saling membinasakan.
Maka ketika kedua pihak telah saling besiap menikam musuhnya, Rasulullah segera meloncat menuju kudanya dan berpidato dengan lantang. ”Wahai kaumku, kalian adalah manusia-manusia bersaudara yang semestinya saling membantu dan saling mengasihi, lalu mengapakah kalian ingin saling menghancurkan?”
Orang-orang yang telah berkerumun dengan penuh nafsu amarah tersebut benar-benar tercekat, mereka merasa seakan dilecehkan oleh seorang anak ingusan. Hingga salah satu jagoan di antara mereka kemudian berkata, ”Wahai Muhammad, apakah pedulimu pada peperangan kami? Lebih baik engkau pulang ke rumah dan biarkan kami menuntaskan urusan kami!”
Dengan mendengar jawaban ini, tentu berarti Nabi mendapat angin, kaumnya telah mulai mendengarkan dirinya. Maka segera saja Rasulullah kembali berpidato lantang, ”Wahai kaumku, semestimnya kalianlah yang kembali pulang, karena pertikaian ini hanya akan menjadikan kalian semakin lemah dan rapuh. Maka bersatulah karena persatuan menjadikan kalian semakin kuat dan semakin aman dari gangguan kelompok lain.”
Mendengar hal ini, orang-orang yang telah bersiap untuk saling membunuh pun kembali menyarungkan senjatanya masing-masing, kemudian mereka bersalaman dan saling berpelukan serta kembali ke rumah masing-masing dengan penuh kedamaian.
Syaifullah Amin
Suatu ketika, pada masa Rasulullah masih belia, terjadi pertikaian yang cukup panas antara dua klan yang bertetangga di dalam keluarga suku Qurays. Hingga ketika disepakati sebuah gelar perang antara dua klan yang saling berseteru ini. Maka pada hari yang telah ditentukan, Rasullullah berada persis di tengah-tengah gurun yang disepakati sebagai medan perang.
Bagi Muhammad muda waktu itu, keadaaan benar-benara mendebarkan, karena ia hanya seorang diri di tengah-tengah kerumunan massa yang ingin saling menghancurkan dan saling membinasakan.
Maka ketika kedua pihak telah saling besiap menikam musuhnya, Rasulullah segera meloncat menuju kudanya dan berpidato dengan lantang. ”Wahai kaumku, kalian adalah manusia-manusia bersaudara yang semestinya saling membantu dan saling mengasihi, lalu mengapakah kalian ingin saling menghancurkan?”
Orang-orang yang telah berkerumun dengan penuh nafsu amarah tersebut benar-benar tercekat, mereka merasa seakan dilecehkan oleh seorang anak ingusan. Hingga salah satu jagoan di antara mereka kemudian berkata, ”Wahai Muhammad, apakah pedulimu pada peperangan kami? Lebih baik engkau pulang ke rumah dan biarkan kami menuntaskan urusan kami!”
Dengan mendengar jawaban ini, tentu berarti Nabi mendapat angin, kaumnya telah mulai mendengarkan dirinya. Maka segera saja Rasulullah kembali berpidato lantang, ”Wahai kaumku, semestimnya kalianlah yang kembali pulang, karena pertikaian ini hanya akan menjadikan kalian semakin lemah dan rapuh. Maka bersatulah karena persatuan menjadikan kalian semakin kuat dan semakin aman dari gangguan kelompok lain.”
Mendengar hal ini, orang-orang yang telah bersiap untuk saling membunuh pun kembali menyarungkan senjatanya masing-masing, kemudian mereka bersalaman dan saling berpelukan serta kembali ke rumah masing-masing dengan penuh kedamaian.
Syaifullah Amin