Oleh KH. Maimun Zubair
Baru-baru ini, umat Islam Indonesia berbeda pendapat mengenai hari raya idul fitri 1427 H sebagaimana yang pernah terjadi berulangkali pada tahun-tahun sebelumnya. Sebagian dari mereka melaksanakan ‘id pada hari Senin, dan sebagian lagi pada hari Selasa. Sebagian Ormas menetapkan ‘id jatuh pada hari Senin; dengan demikian puasanya adalah 29 hari karena berpedoman pada anggapan mereka yang salah bahwa hilal telah wujud pada malam Senin atas dasar ketentuan hisab mereka, meskipun melihat hilal tidak mungkin dilakukan.
Sebagian kelompok juga berlebaran pada hari Senin karena berangapan bahwa pada malam Senin hilal dapat dilihat. Mereka pun menyebarkan ikhbar ke beberapa daerah dan propinsi dengan menggunakan peralatan modern. Mereka juga menjelaskan—menurut anggapan mereka—kebenaran hujjah yang mereka gunakan dan menyerukan kepada umat agar mengikuti mereka dalam menentukan hari ’idul fitri. Lebih dari itu, mereka merasa benar walaupun ru’yah-nya tidak diterima oleh Departemen Agama. Meskipun demikian, mayoritas kaum muslimin menyempurnakan puasanya genap 30 hari dan melaksanakan ‘id pada hari Selasa karena
mengikuti keputusan Departemen Agama yang menolak kesaksian orang yang mengaku telah melihat hilal dan karena berpegang pada ketentuan hisab qat’i yang sudah disepakati oleh para ahlinya perihal tidak adanya kemungkinan ru’yah pada malam Senin.
Dengan kejadian seperti ini, timbullah kegaduhan di antara kaum muslimin yang dipicu oleh suara-suara takbir yang menggunakan pengeras suara di masjid-masjid dan di jalan-jalan karena mengikuti dorongan hawa nafsu.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, saya ingin memaparkan penjelasan-penjelasan para imam kita mengenai persoalan tersebut agar dapat menjadi pegangan bagi diri saya sendiri dan bagi kita semua. Hal ini karena tulisan harus dipertanggungjawabkan; ia adalah perbuatan orang mukallaf, dan karena itu harus ada penilaian dari kita terhadap hukum-hukum syara’. Hukum adalah khitab Allah yang terkait dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Oleh karena itu, janganlah engkau mengira bisa bebas berbuat apa saja. Tidak ada sesuatu yang bisa lepas dari tangung jawab. Demikian halnya dengan ikhbar (pemberitaan). Tidak ada penulis yang tidak diuji dan diminta pertangungjawabannya atas apa yang ditulis oleh tangannya. Oleh karena itu, janganlah engkau menulis sesuatu dengan telapak tanganmu selain apa yang bisa membuatmu senang melihatnya pada hari kiamat. Tulisan berikut saya bagi menjadi beberapa fasal sesuai dengan maksud penjelasan-penjelasan ulama yang ada. Kepada Allah saya bersandar, dan kepada-Nya saya memohon taufiq.
Kesalahan Melaksanakan Hari Raya pada Hari Senin
Ketahuilah bahwa orang yang berbuka pada hari Senin, baik berpegang kepada kesimpulan hisab dengan wujudnya hilal pada malam Senin atau kepada pengakuan sejumlah orang yang melihat hilal, tidaklah mempunyai dalil yang kuat, bahkan tidak mempunyai hujjah syar’iyyah yang bisa dijadikan pegangan. Mereka salah dan tersesat karena tidak merujuk pada pendapat para imam dan salafush shalih yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah; dalam hal ini kesalahan mereka bisa dilihat dari beberapa hal berikut:
Pertama, sikap mereka yang menentang terhadap waliyyul amri; dalam hal ini adalah Departemen Agama dengan keputusannya yang menyatakan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Selasa atas dasar penyempurnaan Ramadhan menjadi 30 hari. Keputusan ini didasarkan atas tiadanya ru’yah yang dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i pada malam Senin dan tiadanya kemungkinan ru’yah pada malam tersebut atas dasar hisab yang qat’i. Sebagaimana dimaklumi, menetapkan awal bulan merupakan hak qadhi (hakim) atau menteri agama. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi seseorang atau lembaga untuk menetapkan awal bulan, meskipun mereka melakukannya atas nama ikhbar, dan seseorang tidak boleh menentang ketentuan tersebut karena dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di antara kaum muslimin dalam urusan agama. Ketentuan ini didasarkan atas beberapa ayat Al-Quran, Hadis, dan pendapat ulama dulu sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa`: 59)
Dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, Al-Qurtubi mengatakan: “Jika pada ayat-ayat sebelumnya sasarannya adalah penguasa, dan Allah memulai dengan mereka, kemudian Allah memerintahkan kepada mereka untuk melaksanakan amanat dan memutuskan hukum di antara manusia dengan adil, maka pada ayat ini yang dijadikan sasaran adalah rakyat dengan rincian sebagai berikut: pertama, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk taat kepada Allah; dalam hal ini dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; kedua, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk taat kepada Rasul-Nya berkenaan dengan perintah dan larangannya; dan ketiga, perintah untuk taat kepada para pemimpin menurut pendapat para sahabat besar, seperti Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, dan lain-lainnya.
Sahal bin Abdullah at-Tastari mengatakan: Taatlah kamu kepada penguasa dalam tujuh hal: mata uang yang sah, takaran, timbangan, hukum, haji, shalat jum’at, dua hari raya, dan jihad” (Tafsir Al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249). Di sini, yang dimaksud dengan ulul amri adalah para imam, sultan (penguasa), hakim, dan setiap orang yang mempunyai kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan tiranik. Adapun pengertian yang dimaksud adalah taat kepada mereka (ulul amri) dalam segenap perintah dan larangannya sepanjang tidak maksiat kepada Allah (Fathul Qadir, Juz I, hlm. 726). Beliau pun mengatakan: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan ulama. Jika mereka menghormati keduanya, maka Allah akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Dan jika mereka melecehkan keduanya, maka Allah akan merusak urusan dunia dan akhiratnya.” (Tafsir Al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249).
Terdapat banyak dalil-dalil yang shahih yang mencapai tingkat mutawatir dan yang secara pasti berasal dari Rasulullah SAW dengan kepastian yang tidak dapat diragukan lagi bagi orang yang berpegang teguh kepada Sunnah yang suci mengenai kewajiban taat kepada para imam, penguasa, dan pemimpin, sampai-sampai di beberapa radaksi Hadis yang shahih terdapat pernyataan: taatlah kamu kepada penguasa meskipun ia adalah budak negro yang rambut kepalanya gimbal. Kewajiban taat kepada mereka itu sepanjang mereka melaksanakan shalat dan tidak tampak pada mereka kekufuran yang nyata, dan sepanjang mereka tidak memerintahkan maksiat kepada Allah.
Jelasnya, meskipun mereka sangat lalim dan melakukan jenis kelaliman yang sangat berat, namun kelalimannya tersebut tidak sampai menyebabkan kekufuran yang nyata, maka ketaatan kepada mereka tetap merupakan suatu kewajiban sepanjang perintahnya bukan suatu maksiat kepada Alah. Termasuk dari perintah ulul amri yang harus ditaati adalah perintah melaksanakan berbagai pekerjaan dan memasuki pos-pos keagamaan yang tidak termasuk maksiat kepada Allah, seperti jihad, membela hak-hak rakyat, memutuskan hukum terhadap pihak-pihak yang bertikai, menegakkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap siapa saja.
Secara garis besar, ketaatan kepada ulul amri adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaannya sepanjang bukan maksiat kepada Allah. Oleh karena itu, interaksi atau sejenisnya dengan ulul amri berkenaaan dengan hal-hal seperti di atas memang merupakan suatu keharusan. Maka ketatan kepada mereka dengan ketentutan-ketentuan yang sudah saya paparkan tidak dapat dihindari. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang menjelaskan perintah tersebut. Dalam Al-Quran dinyatakan, Taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Selain itu, juga ada dalil yang menyatakan, ”Mereka (ulul amri) menerima ketaatan yang menjadi haknya, meskipun mereka sendiri tidak melaksanakan kewajiban untuk rakyat sebagimana dijelaskan dalam beberapa Hadis Nabi, “Beri mereka (ulul amri) apa yang menjadi haknya dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hakmu.” Bahkan, terdapat perintah untuk taat kepada penguasa dan Nabi SAW pun menekankan hal tersebut sampai-sampai beliau menyatakan, “Meskipun ia mengambil hakmu dan memukul punggungmu.” (Tafsir Al-Qurtubi Juz II, hlm. 765).
Adapun firman Allah, Jika kamu berlainan pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah dan Rasul-Nya, Imam Mujahid dan beberapa ulama salaf mengatakan: yakni kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya; dan hal ini adalah perintah Allah bahwa segala sesuatu mengenai sendi-sendi agama dan cabang-cabangnya yang diperselisihkan oleh manusia harus dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, sebagaimana firman Allah, Apa saja yang kamu perselisihkan, maka keputusannya terserah kepada Allah (Asy-Syura: 10). Apa yang diputuskan oleh Al-Quran dan Sunnah, dan kebenarannya diperkuat oleh keduanya, maka ia adalah benar. Menyimpang dari itu hanyalah kesesatan.
Oleh karena itu, selanjutnya Allah berfirman, Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Artinya, kembalikan perselisihan dan ketidaktahuan kepada Kitab Allah Sunnah rasul-Nya; berhukumlah kamu dengan keduanya atas apa yang terjadi di antara kamu. Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir}. Dengan ayat ini Allah menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam hal-hal yang menjadi bahan perselisihan dengan Al-Quran dan Sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya, maka berarti ia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir (Tafsir Al-Qurtubi Juz I, hlm. 687).
Al-Qurtubi juga mengatakan, ”Ali bin Muslim At-Tusi menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Ibnu Abi Fadik menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Abdullah bin Muhammad bin Urwah menceritakan kepadaku berdasarkan riwayat dari Hisyam bin Urwah dari Abu Shaleh as-Saman dari Abu Hurairah: bahwasanya Nabi saw. besabda: Akan memimpin kamu sesudahku beberapa penguasa; orang yang baik akan memimpin kamu dengan kebaikannnya dan orang yang durjana dengan kedurjanaannya. Maka, dengarkan dan taatilah mereka di mana saja berada selama sesuai dengan kebenaran. Shalatlah kamu di belakang mereka. Jika mereka berbuat kebaikan, maka [kebaikan] adalah bagimu dan bagi mereka. Dan jika mereka berbuat keburukan, maka [kebaikan] adalah tetap bagimu, sementara [keburukan] tersebut atas mereka. (Tafsir Al-Qurtubi Juz III, hlm 149).
Teks-teks yang saya kutip di atas mengajarkan kepada kita bahwa secara syar’i tidak ada sisi yang shahih bagi mereka (pendudukung 1 Syawal jatuh pada hari Senin) karena menetang terhadap keputusan Departemen Agama mengenai penetapan awal bulan Syawal, meskipun mereka mengklaim dan beragumentasi sedemikian rupa. Bahkan, sikap mereka itu dapat menimbulkan fitnah di antara sesama umat Islam dan dapat menjerumuskannya dalam suasana saling curiga. Dalam hal ini Departeman Agama sudah benar dan tepat ketika menolak kesaksian satu atau dua orang lebih yang mengaku telah melihat hilal pada malam Senin karena Departemen Agama telah berpegang kepada hujjah syar’iyyah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Di samping itu, Departemen Agama juga telah bermusyawarah dengan lembaga hisab dan ru’yah mengenai penentuan 1 Syawal dan mereka pun telah sepakat bahwa hilal tidak mungkin dapat dilihat pada malam Senin. Sejatinya, syarat sesuatu yang dapat dilihat adalah adanya kemungkinan melihatnya secara akal, adat, dan syara’, sebagaimana yang akan saya jelaskan berdasarkan keterangan para imam. Berkaitan dengan ini, jika saja orang yang melaksanakan ‘id pada hari Senin itu merujuk kepada Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan pendapat para ulama, niscaya mereka tidak akan berani menentang. Akan tetapi, arogansi dan dorongan hawa nafsu, atau bahkan ketidaktahuan mereka mengenai fikih Islam, telah mempengaruhi mereka sehingga mereka berani menentang.
Kedua, mereka bertentangan dengan ketentuan hisab yang qat’i mengenai tiadanya kemungkinan melihat hilal pada malam Senin. Dalam menetapkan awal bulan, yang dijadikan pedoman hanyalah dengan jalan melihat hilal, baik menurut ahli falak dan orang-orang yang membenarkannya atau para ahli lainnya, sebagaimana yang dikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Menurut ahli falak, yang dikehendaki dengan istilah “melihat hilal” hanyalah kamampuan melihat hilal atas dasar ketingian hilal di atas ufuq, sebagaimana yang sudah maklum bagi mereka. Ahli falak mengatakan bahwa hilal di atas ufuq memungkinkan untuk dilihat jika ketingiannya lebih dari satu derajat.
Dalam konteks ini, hilal pada malam Senin berada di bawah satu derajat atau kurang; dengan demikian jelaslah bahwa orang yang melaksanakan ‘id pada hari Senin—karena berpedoman bahwa wujud hilal pada malam tersebut, sekalipun tidak memungkinkan untuk dilihat, cukup untuk dijadikan sebagai dasar menetapkan bulan Syawal—sungguh jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan Sunnah; hal ini karena syari’at mengaitkan hukum puasa dan lebaran dengan ru’yah atau kemungkinan ru’yah, bukan dengan wujud hilal belaka, seperti yang mereka pakai.
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya.” Jika kenyataannya seperti ini, maka kesaksian seseorang yang mengaku telah melihat hilal pada malam Senin tersebut harus ditolak. Selain itu, argumentasi mereka dalam melaksanakan ‘id pada hari Senin yang didasarkan atas ru’yah seperti itu dengan sendirinya adalah batal dan tidak bersandar kepada dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, jika qadhi (hakim) menetapkan hukum dengan kesaksian seperti itu, maka ketetapan hukumnya tersebut juga batal. Apa yang telah saya uraikan tersebut juga didukung oleh penjelasan ulama yang membuktikan bahwa sebenarnya mereka dalam urusan agama tidak merujuk kepada pendapat ulama dulu dan imam-imam ahli ijtihad.
Dikutip dari Maqalah fi Mauqifina haulas Shaum wal Ifthar ‘Am 1427 H yang ditulis oleh KH Maimun Zubair, Sarang, pada hari Rabu 2 Syawal 1427 H/ 25 Oktober 2006.(M Adib/LTN-NU)
Baru-baru ini, umat Islam Indonesia berbeda pendapat mengenai hari raya idul fitri 1427 H sebagaimana yang pernah terjadi berulangkali pada tahun-tahun sebelumnya. Sebagian dari mereka melaksanakan ‘id pada hari Senin, dan sebagian lagi pada hari Selasa. Sebagian Ormas menetapkan ‘id jatuh pada hari Senin; dengan demikian puasanya adalah 29 hari karena berpedoman pada anggapan mereka yang salah bahwa hilal telah wujud pada malam Senin atas dasar ketentuan hisab mereka, meskipun melihat hilal tidak mungkin dilakukan.
Sebagian kelompok juga berlebaran pada hari Senin karena berangapan bahwa pada malam Senin hilal dapat dilihat. Mereka pun menyebarkan ikhbar ke beberapa daerah dan propinsi dengan menggunakan peralatan modern. Mereka juga menjelaskan—menurut anggapan mereka—kebenaran hujjah yang mereka gunakan dan menyerukan kepada umat agar mengikuti mereka dalam menentukan hari ’idul fitri. Lebih dari itu, mereka merasa benar walaupun ru’yah-nya tidak diterima oleh Departemen Agama. Meskipun demikian, mayoritas kaum muslimin menyempurnakan puasanya genap 30 hari dan melaksanakan ‘id pada hari Selasa karena
mengikuti keputusan Departemen Agama yang menolak kesaksian orang yang mengaku telah melihat hilal dan karena berpegang pada ketentuan hisab qat’i yang sudah disepakati oleh para ahlinya perihal tidak adanya kemungkinan ru’yah pada malam Senin.
Dengan kejadian seperti ini, timbullah kegaduhan di antara kaum muslimin yang dipicu oleh suara-suara takbir yang menggunakan pengeras suara di masjid-masjid dan di jalan-jalan karena mengikuti dorongan hawa nafsu.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, saya ingin memaparkan penjelasan-penjelasan para imam kita mengenai persoalan tersebut agar dapat menjadi pegangan bagi diri saya sendiri dan bagi kita semua. Hal ini karena tulisan harus dipertanggungjawabkan; ia adalah perbuatan orang mukallaf, dan karena itu harus ada penilaian dari kita terhadap hukum-hukum syara’. Hukum adalah khitab Allah yang terkait dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Oleh karena itu, janganlah engkau mengira bisa bebas berbuat apa saja. Tidak ada sesuatu yang bisa lepas dari tangung jawab. Demikian halnya dengan ikhbar (pemberitaan). Tidak ada penulis yang tidak diuji dan diminta pertangungjawabannya atas apa yang ditulis oleh tangannya. Oleh karena itu, janganlah engkau menulis sesuatu dengan telapak tanganmu selain apa yang bisa membuatmu senang melihatnya pada hari kiamat. Tulisan berikut saya bagi menjadi beberapa fasal sesuai dengan maksud penjelasan-penjelasan ulama yang ada. Kepada Allah saya bersandar, dan kepada-Nya saya memohon taufiq.
Kesalahan Melaksanakan Hari Raya pada Hari Senin
Ketahuilah bahwa orang yang berbuka pada hari Senin, baik berpegang kepada kesimpulan hisab dengan wujudnya hilal pada malam Senin atau kepada pengakuan sejumlah orang yang melihat hilal, tidaklah mempunyai dalil yang kuat, bahkan tidak mempunyai hujjah syar’iyyah yang bisa dijadikan pegangan. Mereka salah dan tersesat karena tidak merujuk pada pendapat para imam dan salafush shalih yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah; dalam hal ini kesalahan mereka bisa dilihat dari beberapa hal berikut:
Pertama, sikap mereka yang menentang terhadap waliyyul amri; dalam hal ini adalah Departemen Agama dengan keputusannya yang menyatakan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Selasa atas dasar penyempurnaan Ramadhan menjadi 30 hari. Keputusan ini didasarkan atas tiadanya ru’yah yang dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i pada malam Senin dan tiadanya kemungkinan ru’yah pada malam tersebut atas dasar hisab yang qat’i. Sebagaimana dimaklumi, menetapkan awal bulan merupakan hak qadhi (hakim) atau menteri agama. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi seseorang atau lembaga untuk menetapkan awal bulan, meskipun mereka melakukannya atas nama ikhbar, dan seseorang tidak boleh menentang ketentuan tersebut karena dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di antara kaum muslimin dalam urusan agama. Ketentuan ini didasarkan atas beberapa ayat Al-Quran, Hadis, dan pendapat ulama dulu sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa`: 59)
Dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, Al-Qurtubi mengatakan: “Jika pada ayat-ayat sebelumnya sasarannya adalah penguasa, dan Allah memulai dengan mereka, kemudian Allah memerintahkan kepada mereka untuk melaksanakan amanat dan memutuskan hukum di antara manusia dengan adil, maka pada ayat ini yang dijadikan sasaran adalah rakyat dengan rincian sebagai berikut: pertama, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk taat kepada Allah; dalam hal ini dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; kedua, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk taat kepada Rasul-Nya berkenaan dengan perintah dan larangannya; dan ketiga, perintah untuk taat kepada para pemimpin menurut pendapat para sahabat besar, seperti Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, dan lain-lainnya.
Sahal bin Abdullah at-Tastari mengatakan: Taatlah kamu kepada penguasa dalam tujuh hal: mata uang yang sah, takaran, timbangan, hukum, haji, shalat jum’at, dua hari raya, dan jihad” (Tafsir Al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249). Di sini, yang dimaksud dengan ulul amri adalah para imam, sultan (penguasa), hakim, dan setiap orang yang mempunyai kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan tiranik. Adapun pengertian yang dimaksud adalah taat kepada mereka (ulul amri) dalam segenap perintah dan larangannya sepanjang tidak maksiat kepada Allah (Fathul Qadir, Juz I, hlm. 726). Beliau pun mengatakan: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan ulama. Jika mereka menghormati keduanya, maka Allah akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Dan jika mereka melecehkan keduanya, maka Allah akan merusak urusan dunia dan akhiratnya.” (Tafsir Al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249).
Terdapat banyak dalil-dalil yang shahih yang mencapai tingkat mutawatir dan yang secara pasti berasal dari Rasulullah SAW dengan kepastian yang tidak dapat diragukan lagi bagi orang yang berpegang teguh kepada Sunnah yang suci mengenai kewajiban taat kepada para imam, penguasa, dan pemimpin, sampai-sampai di beberapa radaksi Hadis yang shahih terdapat pernyataan: taatlah kamu kepada penguasa meskipun ia adalah budak negro yang rambut kepalanya gimbal. Kewajiban taat kepada mereka itu sepanjang mereka melaksanakan shalat dan tidak tampak pada mereka kekufuran yang nyata, dan sepanjang mereka tidak memerintahkan maksiat kepada Allah.
Jelasnya, meskipun mereka sangat lalim dan melakukan jenis kelaliman yang sangat berat, namun kelalimannya tersebut tidak sampai menyebabkan kekufuran yang nyata, maka ketaatan kepada mereka tetap merupakan suatu kewajiban sepanjang perintahnya bukan suatu maksiat kepada Alah. Termasuk dari perintah ulul amri yang harus ditaati adalah perintah melaksanakan berbagai pekerjaan dan memasuki pos-pos keagamaan yang tidak termasuk maksiat kepada Allah, seperti jihad, membela hak-hak rakyat, memutuskan hukum terhadap pihak-pihak yang bertikai, menegakkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap siapa saja.
Secara garis besar, ketaatan kepada ulul amri adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaannya sepanjang bukan maksiat kepada Allah. Oleh karena itu, interaksi atau sejenisnya dengan ulul amri berkenaaan dengan hal-hal seperti di atas memang merupakan suatu keharusan. Maka ketatan kepada mereka dengan ketentutan-ketentuan yang sudah saya paparkan tidak dapat dihindari. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang menjelaskan perintah tersebut. Dalam Al-Quran dinyatakan, Taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Selain itu, juga ada dalil yang menyatakan, ”Mereka (ulul amri) menerima ketaatan yang menjadi haknya, meskipun mereka sendiri tidak melaksanakan kewajiban untuk rakyat sebagimana dijelaskan dalam beberapa Hadis Nabi, “Beri mereka (ulul amri) apa yang menjadi haknya dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hakmu.” Bahkan, terdapat perintah untuk taat kepada penguasa dan Nabi SAW pun menekankan hal tersebut sampai-sampai beliau menyatakan, “Meskipun ia mengambil hakmu dan memukul punggungmu.” (Tafsir Al-Qurtubi Juz II, hlm. 765).
Adapun firman Allah, Jika kamu berlainan pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah dan Rasul-Nya, Imam Mujahid dan beberapa ulama salaf mengatakan: yakni kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya; dan hal ini adalah perintah Allah bahwa segala sesuatu mengenai sendi-sendi agama dan cabang-cabangnya yang diperselisihkan oleh manusia harus dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, sebagaimana firman Allah, Apa saja yang kamu perselisihkan, maka keputusannya terserah kepada Allah (Asy-Syura: 10). Apa yang diputuskan oleh Al-Quran dan Sunnah, dan kebenarannya diperkuat oleh keduanya, maka ia adalah benar. Menyimpang dari itu hanyalah kesesatan.
Oleh karena itu, selanjutnya Allah berfirman, Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Artinya, kembalikan perselisihan dan ketidaktahuan kepada Kitab Allah Sunnah rasul-Nya; berhukumlah kamu dengan keduanya atas apa yang terjadi di antara kamu. Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir}. Dengan ayat ini Allah menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam hal-hal yang menjadi bahan perselisihan dengan Al-Quran dan Sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya, maka berarti ia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir (Tafsir Al-Qurtubi Juz I, hlm. 687).
Al-Qurtubi juga mengatakan, ”Ali bin Muslim At-Tusi menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Ibnu Abi Fadik menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Abdullah bin Muhammad bin Urwah menceritakan kepadaku berdasarkan riwayat dari Hisyam bin Urwah dari Abu Shaleh as-Saman dari Abu Hurairah: bahwasanya Nabi saw. besabda: Akan memimpin kamu sesudahku beberapa penguasa; orang yang baik akan memimpin kamu dengan kebaikannnya dan orang yang durjana dengan kedurjanaannya. Maka, dengarkan dan taatilah mereka di mana saja berada selama sesuai dengan kebenaran. Shalatlah kamu di belakang mereka. Jika mereka berbuat kebaikan, maka [kebaikan] adalah bagimu dan bagi mereka. Dan jika mereka berbuat keburukan, maka [kebaikan] adalah tetap bagimu, sementara [keburukan] tersebut atas mereka. (Tafsir Al-Qurtubi Juz III, hlm 149).
Teks-teks yang saya kutip di atas mengajarkan kepada kita bahwa secara syar’i tidak ada sisi yang shahih bagi mereka (pendudukung 1 Syawal jatuh pada hari Senin) karena menetang terhadap keputusan Departemen Agama mengenai penetapan awal bulan Syawal, meskipun mereka mengklaim dan beragumentasi sedemikian rupa. Bahkan, sikap mereka itu dapat menimbulkan fitnah di antara sesama umat Islam dan dapat menjerumuskannya dalam suasana saling curiga. Dalam hal ini Departeman Agama sudah benar dan tepat ketika menolak kesaksian satu atau dua orang lebih yang mengaku telah melihat hilal pada malam Senin karena Departemen Agama telah berpegang kepada hujjah syar’iyyah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Di samping itu, Departemen Agama juga telah bermusyawarah dengan lembaga hisab dan ru’yah mengenai penentuan 1 Syawal dan mereka pun telah sepakat bahwa hilal tidak mungkin dapat dilihat pada malam Senin. Sejatinya, syarat sesuatu yang dapat dilihat adalah adanya kemungkinan melihatnya secara akal, adat, dan syara’, sebagaimana yang akan saya jelaskan berdasarkan keterangan para imam. Berkaitan dengan ini, jika saja orang yang melaksanakan ‘id pada hari Senin itu merujuk kepada Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan pendapat para ulama, niscaya mereka tidak akan berani menentang. Akan tetapi, arogansi dan dorongan hawa nafsu, atau bahkan ketidaktahuan mereka mengenai fikih Islam, telah mempengaruhi mereka sehingga mereka berani menentang.
Kedua, mereka bertentangan dengan ketentuan hisab yang qat’i mengenai tiadanya kemungkinan melihat hilal pada malam Senin. Dalam menetapkan awal bulan, yang dijadikan pedoman hanyalah dengan jalan melihat hilal, baik menurut ahli falak dan orang-orang yang membenarkannya atau para ahli lainnya, sebagaimana yang dikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Menurut ahli falak, yang dikehendaki dengan istilah “melihat hilal” hanyalah kamampuan melihat hilal atas dasar ketingian hilal di atas ufuq, sebagaimana yang sudah maklum bagi mereka. Ahli falak mengatakan bahwa hilal di atas ufuq memungkinkan untuk dilihat jika ketingiannya lebih dari satu derajat.
Dalam konteks ini, hilal pada malam Senin berada di bawah satu derajat atau kurang; dengan demikian jelaslah bahwa orang yang melaksanakan ‘id pada hari Senin—karena berpedoman bahwa wujud hilal pada malam tersebut, sekalipun tidak memungkinkan untuk dilihat, cukup untuk dijadikan sebagai dasar menetapkan bulan Syawal—sungguh jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan Sunnah; hal ini karena syari’at mengaitkan hukum puasa dan lebaran dengan ru’yah atau kemungkinan ru’yah, bukan dengan wujud hilal belaka, seperti yang mereka pakai.
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya.” Jika kenyataannya seperti ini, maka kesaksian seseorang yang mengaku telah melihat hilal pada malam Senin tersebut harus ditolak. Selain itu, argumentasi mereka dalam melaksanakan ‘id pada hari Senin yang didasarkan atas ru’yah seperti itu dengan sendirinya adalah batal dan tidak bersandar kepada dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, jika qadhi (hakim) menetapkan hukum dengan kesaksian seperti itu, maka ketetapan hukumnya tersebut juga batal. Apa yang telah saya uraikan tersebut juga didukung oleh penjelasan ulama yang membuktikan bahwa sebenarnya mereka dalam urusan agama tidak merujuk kepada pendapat ulama dulu dan imam-imam ahli ijtihad.
Dikutip dari Maqalah fi Mauqifina haulas Shaum wal Ifthar ‘Am 1427 H yang ditulis oleh KH Maimun Zubair, Sarang, pada hari Rabu 2 Syawal 1427 H/ 25 Oktober 2006.(M Adib/LTN-NU)